top of page

A Barbaric Proposal Chapter 101

  • Gambar penulis: Crystal Zee
    Crystal Zee
  • 3 Okt
  • 7 menit membaca

Diperbarui: 21 jam yang lalu

Yang Pertama untuk Segalanya

Kehidupan Pangeran Fernand, yang bahkan tak berani Liene bayangkan, terus berlanjut hingga melebur dalam diri Lord Tiwakan.

[Black] "Medan perang terkadang juga menemukan jeda. Dalam jeda itulah, aku sesekali mencari tahu tentang cincin yang telah kubuang."

Meskipun hidupnya yang nomaden terasa kacau, ia tidak sepenuhnya melupakan Nauk. Meskipun ia mengubur beratnya beban cincin itu karena takut melihatnya, beban emosionalnya tidak pernah sirna.

[Black] "Aku menemukan cincin itu beberapa waktu kemudian."

Ia kembali ke Kota Blue Warren. Pembeli cincin adalah putri seorang bangsawan, yang kala itu sedang menghabiskan masa muda di Blue Warren, jauh dari tanah kelahirannya. Sama seperti Black yang mengembara di benua, cincin tersebut juga mengembara berpindah-pindah tangan.

[Black] "Pemilik cincin adalah Putri Blini. Kala itu, aku belum tahu kedudukannya."

Ia masih dua puluh tiga tahun, dan masih muda. Putri Blini, yang menuntut pembayaran cincin dengan sesuatu selain uang, juga masih muda. Masa muda menjadi alasan—satu-satunya alasan—untuk segala yang terjadi di Kota Blue Warren.

[Black] "...Aku tidak akan berdalih bahwa hubungan kami hanya karena aku mencari cincin. Bahkan tanpa alasan itu, kemungkinan besar kami akan terlibat dalam hubungan fisik. Itu lah masa di mana aku menjalani hidup dengan nekat."

[Liene] "......?"

Ketika Black mengatakan hal tersebut, Liene benar-benar murka. Sebelumnya ia mati-matian menahan air mata, tetapi kini, air matanya tiba-tiba lenyap seolah sihir.

[Liene] "Tunggu sebentar. Pernyataan tentang terlibat dalam 'hubungan fisik' perlu dijelaskan. Apa sebenarnya maksud dari 'hubungan fisik'?"

[Black] "...Seperti yang sudah kau duga."

Liene dengan cepat membalikkan tubuh, melepaskan diri dari pelukan Black.

[Liene] "Memangnya aku menduga apa?"

[Black] "Itu..."

Black, yang tiba-tiba berhadapan dengannya, mengerutkan kening.

[Black] "Kakimu kembali terendam air. Jangan bergerak tiba-tiba... Mari, aku bantu..."

Liene menepis tangan Black yang mencoba membalikkan tubuhnya kembali.

[Liene] "Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab saja pertanyaanku."

[Black] "Itulah jawabannya. Kami bersama sekitar sepuluh hari, dan hubungan kami berakhir. Aku akhirnya tidak mendapatkan cincin itu kembali."

[Liene] "Sepuluh hari!"

Tanpa sadar, Liene berteriak.

[Liene] "Sepuluh hari penuh!"

[Black] "Putri. Pertama-tama, kakimu..."

[Liene] "Sudah kukatakan jangan mengalihkan pembicaraan! Apa yang sebenarnya kau lakukan bersama Putri Blini selama sepuluh hari!"

[Black] "......."

Sebenarnya, jawaban eksplisit tidak lagi diperlukan. Ekspresi Black yang terdistorsi karena rasa malu sudah cukup.

[Liene] "......Aku tahu, aneh menanyakannya. Aku juga pernah punya pasangan, tentu saja hanya sekadar status, tetapi aku pernah punya tunangan, dan tidak, aku tidak pernah menyukai mantan tunanganku. Tetapi kau, selama sepuluh hari... sungguh, sepuluh hari... Tidak, bukan berarti aku tidak bisa mentolerir masa lalu. Kita belum ada hubungan saat itu, bukan? Kau memiliki kekasih lain, ya. Itu hal yang wajar. Aku juga punya pasangan... Tapi tunggu. Aku tidak pernah menyukai orang lain!"

Liene tahu kata-kata yang ia ucapkan berantakan. Ia sangat marah, tetapi ketika ia mencoba menjelaskan alasan kemarahannya, ternyata tidak ada alasan yang logis.

Black bahkan tidak mempermasalahkan jika Liene memiliki anak dengan lelaki lain, namun aneh jika Liene tidak bisa mentolerir kekasih yang hanya Black temui selama sepuluh hari. Terlebih lagi, ia tidak bisa mengubah masa lalu yang sudah terjadi lebih dari lima tahun lalu.

Tetapi ia sangat marah. Ia tahu kemarahannya tidak masuk akal, tetapi ia tetap marah.

[Black] "...Aku tidak merasakan kasih sayang pada Putri Blini."

Black memasukkan tangannya ke dalam air, mengangkat kaki Liene, dan meletakkannya di bahu.

Liene ingin mengatakan bahwa karena dirinya marah, tindakan Black tidak berguna, tetapi berhadapan dengan tatapan Black, mulutnya tidak bisa terbuka.

Pasti karena posisi ini... aneh. Handuknya bisa lepas. Wajahku terasa seperti akan tenggelam dalam air. Itu lah alasannya aku tak bisa berkata-kata.

[Black] "Aku sudah mencoba, tetapi tidak berhasil. Aku tidak pernah bisa merasa ingin menetap dengan siapa pun."

Itulah sebabnya ia meninggalkan cincin itu. Princess Blini pasti tidak akan mengembalikannya ketika hubungan mereka berakhir, artinya ia harus merebutnya secara paksa. Ia tidak serendah itu hingga harus merebut cincin dari seorang wanita yang, meskipun Black tidak memercayainya, mengaku punya perasaan tulus untuknya. Ia berencana mengambil kembali cincin itu nanti, membayarnya dengan harga lain.

[Black] "Kau adalah yang pertama."

Black memegang kaki yang bersandar di bahunya dan menempelkan bibir pada telapak kaki Liene yang terluka.

[Black] "Orang pertama yang sangat ingin kumiliki, apa pun risikonya. Orang pertama yang membuatku merasa akan baik-baik saja, tidak peduli apa pun yang kau lakukan padaku."

[Liene] "......Kau pasti juga melakukan hal-hal seperti ini dengannya."

Itulah satu-satunya hal yang berhasil Liene gumamkan.

Ia ingin mengatakan bahwa ia memercayai ucapan Black, dan ia juga merasakan hal yang sama, tetapi ia tidak mengerti mengapa dirinya bertingkah seperti ini.

[Black] "Aku tidak melakukannya."

[Liene] "Bagaimana aku bisa memercayaimu? Kau terlalu mahir dalam segala hal."

[Black] "Aku tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada hubungan fisik, tetapi banyak, banyak hal yang kulakukan denganmu adalah yang pertama bagiku."

[Liene] "Aku tidak percaya. Aku bahkan tidak tahu bahwa masuk ke bak mandi bersama bisa dilakukan sampai kau memasang bak mandi ini!"

[Black] "Aku juga, baru pertama kali masuk ke bak mandi dengan seseorang yang terbungkus handuk."

[Liene] "Apa maksudmu dengan terbungkus handuk?!"

Air mata Liene meledak karena ia sangat marah.

[Liene] "Jika tidak ada handuk, lalu apa yang kau lakukan saat itu!"

[Black] "Ya ampun..."

Black yang menyadari lidahnya terpeleset, meraih Liene dengan cemas. Namun, posisi tubuh mereka yang canggung membuatnya tidak bisa memeluk Liene.

[Black] "Bisakah aku keluar? Atau setidaknya biarkan kakimu tidak menyentuh air..."

[Liene] "Berhenti menjadikan kakiku sebagai alasan!"

Byur! Air meluap saat Liene tiba-tiba berdiri di bak mandi.

[Black] "Putri."

Black yang bingung, meraih tangan Liene. Liene segera menepis tangan Black dan mendorongnya. Black membiarkan dirinya didorong, punggungnya menabrak dinding bak mandi. Liene menggertakkan gigi pelan sambil mencengkeram kedua telinga Black dengan kuat.

[Liene] "Katakan. Apa lagi yang kau lakukan? Apakah hanya dengan Putri Blini? Tidak ada orang lain lagi, kan?"

[Black] "Putri Blini bukanlah yang pertama... tapi..."

[Liene] "Tuh, kan, sudah kuduga."

Mengapa ia merasa sangat tersakiti dan sedih? Ia tidak pernah berharap pria ini seorang perjaka, tapi....

Saat Liene menatapnya dengan mata berkaca-kaca, Black perlahan mengangkat tangannya yang basah dan memegang pipi Liene.

[Black] "Kau adalah orang pertama yang berbagi bak mandi denganku sambil tertutup rapat dengan handuk seperti ini."

[Liene] "Apakah kau serius... menyuruhku untuk lebih marah? Apakah kau harus mengatakan hal-hal yang menggoda seperti itu?"

[Black] "Tapi pemandangan dirimu yang tertutup handuk adalah yang paling menggoda."

[Liene] "Kata-kata macam apa..."

Tiba-tiba, telinganya terasa panas.

Tidak, tunggu... Aku sedang marah.

[Black] "Kau adalah yang paling cantik, yang paling menggairahkan. Kau adalah orang pertama yang ingin aku peluk sedemikian rupa hingga aku merasa kehilangan kendali dan menjadi gila."

Serius... apa yang harus aku lakukan dengannya?

[Liene] "Kau hanya mencoba mengalihkan masalah masa lalu dengan kata-kata... kan? Tidak... Aku masih marah."

[Black] "Tepat sekali."

Black berbisik dengan suara yang sangat rendah, seolah terendam air.

[Black] "Terima kasih telah menepati janji untuk marah."

[Liene] "Mengapa kemarahan... Ah..."

Sekarang ia ingat. Ia memang berjanji akan marah. Tapi mengapa? Bukankah wajar untuk marah setelah mendengar ceritanya?

[Black] "Karena kemarahanmu berarti kau belum mulai membenciku."

[Liene] "Itu... aku tidak akan membencimu. Wajar saja jika kau pernah bertemu orang lain di masa lalu... Meskipun aku sangat, sangat marah."

[Black] "Kau bisa marah sepuasnya. Aku akan menerima apa pun yang kau lakukan, asalkan jangan pernah mengatakan kau membenciku."

Liene, karena kesal, melepaskan telinga Black yang ia cengkeram dan mengacak-acak rambut Black.

[Liene] "Aku berharap aku sedikit membencimu."

Alasan ia marah adalah karena ia terlalu mencintai Black. Ia merasa sangat sia-sia membayangkan Black pernah bersikap selembut dan sehangat ini kepada wanita lain.

[Black] "Jangan mengucapkan hal-hal menakutkan seperti itu."

[Liene] "Dan marah tidak menakutkan?"

[Black] "Marah berarti dirimu masih memiliki perasaan padaku."

Apa? Dia tahu. Pria ini terlalu mahir, membuatnya semakin menyebalkan.

[Liene] "Aku sedikit membencimu sekarang."

[Black] "Aku tahu. Maafkan aku."

[Liene] "Sebelum kita tidur malam ini, pikirkan sekitar sepuluh hal dimana akulah yang pertama bagimu. Tidak, sepuluh terlalu sedikit. Jadikan dua puluh."

[Black] "Aku akan melakukan yang terbaik."

[Liene] "Aku masih membencimu."

[Black] "Aku baru saja memikirkan satu hal."

Black meluncurkan bibirnya ke bawah.

[Black] "Ini juga yang pertama bagiku."

Ia menggigit ujung handuk dengan giginya. Perlahan-lahan, handuknya terlepas. Air hangat membelai kulit telanjang Liene.

[Black] "Haa......"

Waktu yang dihabiskan di kamar mandi tidak lama. Melihat air menyebabkan kulit di sekitar luka Liene membengkak, Black mengangkat Liene, beserta handuknya.

Ia membungkus tubuh Liene yang basah dengan handuk baru dan menempatkannya langsung di tempat tidur. Ia mengabaikan Liene yang mengatakan tangan dan kakinya tidak lumpuh.

Black dengan cepat mengganti pakaiannya yang basah seadanya dan kembali untuk dengan teliti mengoleskan obat luka pada tangan dan kaki Liene. Desahan mengiringi setiap kali ia mengoleskan obat.

[Black] "Aku seharusnya memberitahumu lebih awal."

[Liene] "Aku yang keras kepala..."

[Black] "Meskipun begitu, aku seharusnya memberitahumu."

Matanya yang sayu terlihat sangat sedih, ekspresi yang belum pernah Liene lihat.

Apakah ia pernah menunjukkan ekspresi seperti ini di hadapan wanita lain?

[Liene] "Apakah mengoleskan obat pada luka juga yang pertama?"

[Black] "Maksudmu apa?"

[Liene] "Mengoleskan obat pada luka."

[Black] "Bukan yang pertama."

...Seharusnya aku tidak bertanya. 

Tepat ketika ia hendak merasa kecewa, Black menambahkan satu hal lagi.

[Black] "Namun, ini pertama kalinya aku merasa begitu tertekan."

Liene tahu dari ekspresinya bahwa ucapannya adalah kebenaran.

[Liene] "Maafkan aku karena membuatmu sedih."

Pria ini berusaha keras agar kakiku tidak terkena air, dan aku tidak menghargainya. 

Liene dengan sengaja menggeliatkan ujung kakinya.

Black menangkap jari-jari kakinya yang bergerak-gerak.


A Barbaric Proposal Chapter 101: Black melanjutkan cerita cincin kerajaan, mengakui ia mendapatkannya dari Putri Blini Sharka setelah menjalin hubungan fisik dengannya selama sepuluh hari. Liene menjadi sangat marah dan cemburu. Black menenangkan Liene, menegaskan bahwa Liene adalah yang pertama baginya dalam banyak hal dan ia sangat mencintainya. Setelah mandi, Black mengolesi luka Liene dan bersikeras menggendongnya ke mana pun ia pergi. Baca light novel & web novel korea terjemahan indonesia.

[Black] "Hentikan gerakan kakimu. Rasanya menggemaskan dan nakal."

[Liene] "Kata-katamu yang lebih nakal."

[Black] "Jika kau tidak menggeliatkan jari-jari kaki, aku tidak perlu mengatakan hal-hal seperti itu."

[Liene] "Lalu mengapa kau mengatakan 'Rasanya menggemaskan dan nakal'?"

[Black] "Karena kita tidak bisa melakukan apa pun sampai lukamu sembuh sepenuhnya."

Apa yang akan kami lakukan jika aku tidak terluka? Wow... kata-kata itu terdengar lebih nakal.

[Liene] "Itu... ehem, lukanya juga tidak besar, kan."

[Black] "Besar atau kecil, luka tetaplah luka."

Black membungkus kedua kaki Liene secara bergantian dengan perban.

[Black] "Selesai."

Ketika Black melepaskan kakinya, Liene berbalik ke samping dan mencari sandal di bawah tempat tidur. Pergelangan kakinya segera ditangkap lagi.

[Black] "Apa yang kau lakukan?"

[Liene] "......? Aku harus bangun. Aku tidak bisa terus di tempat tidur pada jam segini."

[Black] "Katakan ke mana kau akan pergi."

[Liene] "Hmm, baiklah... ke Pangeran Dieren dulu?"

[Black] "Mengapa pria itu?"

[Liene] "Aku harus bernegosiasi. Kita tidak bisa berperang dengan Grand Duchy Alito, kan?"

Black menghela napas pendek.

[Black] "Kau sudah mencari-cari pekerjaan lagi. Padahal kau bisa istirahat saja seharian."

[Liene] "Sudah kukatakan berkali-kali, tidak ada yang salah dengan tubuhku. Aku hanya mendapat beberapa luka goresan."

[Black] "Aku berharap kau tahu betapa sakitnya goresan-goresan di kakimu bagiku."

Black menggumamkan kata-kata romantis seolah bukan apa-apa. Hal itu justru membuat Liene semakin gelisah.

[Black] "Kemari."

[Liene] "...... Apa, ya?"

[Black] "Karena kita harus hati-hati dengan kakimu."

Black dengan mudah mengangkat tubuh Liene dari tempat tidur. Liene, yang secara otomatis melingkarkan lengannya di leher Black, bertanya.

[Liene] "Kau tidak benar-benar berniat menggendongku ke sana?"

[Black] "Kurasa aku sudah mengatakannya."

[Liene] "Tidak, itu... Aku kira kau hanya bercanda. Dan kita bukan akan ke kamar sebelah, kita akan ke tempat Pangeran Dieren."

[Black] "Bahkan jika kau pergi kepada orang lain, bukan Pangeran Dieren, kau tidak akan berjalan dengan kaki yang terluka."

[Liene] "Aku akan memakai sandal. Yang empuk."

[Black] "Pakai saja jika mau. Tapi jangan berpikir untuk berjalan."

[Liene] "Tindakanmu terlalu berlebihan."

[Black] "Putri."

Black mencari cara lain untuk mematahkan kekeraskepalaan Liene.

[Liene] "Ya?"

[Black] "Aku baru saja memikirkan satu hal lagi. Sesuatu dimana kau yang pertama bagiku."

JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page