A Barbaric Proposal Chapter 120
- Crystal Zee

- 4 hari yang lalu
- 7 menit membaca
Pemilik Cincin (2)
Meskipun terlihat tenang, suasana di penginapan terasa tegang. Batas waktu untuk menyerahkan Putri Blini adalah hari ini. Raja Sharka bisa saja mengirim utusan atau balasan, Raja bahkan juga bisa mengirim pasukan. Mereka harus siap menghadapi kemungkinan apa pun.
Ketegangan juga terasa di kamar Klima. Namun, jenis ketegangan yang sedikit berbeda.
[Liene] "Buburnya panas. Kau harus mendinginkannya."
[Black] "......"
Black memegang mangkuk bubur yang mengepul. Ia yang sudah menyendok bubur, menghentikan gerakannya setelah mendengar ucapan Liene.
[Liene] "Dan kurangi sedikit. Terlalu banyak. Bubur tidak akan cepat dingin."
[Black] "Baiklah."
Setelah mengurangi sedikit bubur, Black mengangkat sendok ke udara lalu diam saja.
[Liene] "Apa yang kau lakukan?"
Liene yang mengamatinya sejenak bertanya.
[Black] "Mendinginkannya."
[Liene] "Kapan akan dingin? Kau harus meniupnya."
[Black] "......"
Black bergantian menatap sendok bubur dan wajah Liene, lalu mengangguk dan meniupnya.
Huuu...
Gerakannya rapi dan hati-hati, tetapi tanpa ekspresi.
[Liene] "Sepertinya sudah cukup."
[Black] "Baik."
Black memutar tubuhnya ke samping, menatap Klima yang berbaring lemah di tempat tidur. Klima, yang malang, menatap Black dengan bingung, wajahnya benar-benar malu.
[Black] "Buka mulutmu."
[Klima] "Oh, ya... Ya, baiklah."
Klima membuka mulutnya sebaik mungkin. Black memasukkan bubur yang telah ia tiup dan dinginkan ke mulutnya.

[Liene] "Buburnya tidak panas, kan, Sir Renfel? Apa kau baik-baik saja?"
[Klima] "Oh, ya...ya..."
Klima mengangguk dengan sopan. Black mengambil bubur lagi tanpa banyak bicara, lalu mendinginkannya.
[Black] "Buka mulut."
[Klima] "Baik..."
Klima yang memang dari awal bersikap sangat pasif tidak berani mengatakan apakah ia harus makan seperti ini seterusnya. Begitu juga, ia tidak berani mengatakan rasanya seperti makan bubur melalui lubang hidung, bukan mulut.
Black juga tidak menunjukkan ekspresi senang. Namun, ia merasa sangat lega karena Liene tidak melakukan tindakan mesra seperti ini—yaitu mendinginkan bubur hangat dan menyuapkannya suap demi suap pada pasien.
Memang lebih baik aku yang melakukannya.
Jika Liene yang melakukannya, dirinya pasti tidak akan tenang.
[Liene] "Kau melakukannya dengan baik."
Liene tersenyum puas melihat dua pria yang makan dan menyuapi dalam diam. Liene mengira merawat Klima adalah tanggung jawabnya, tetapi meskipun agak aneh Black ikut campur, tapi ia tidak keberatan.
[Black] "Syukurlah."
[Liene] "Ah, mangkuknya sudah kosong. Mau aku ambilkan lagi?"
Mendengarnya, Klima menggelengkan kepala dengan semangat.
[Klima] "T-tidak...! Saya rasa sudah cukup."
[Liene] "Kalau kau tidak suka bubur, bagaimana dengan yang lain?"
[Klima] "Ah, tidak... Saya benar-benar baik-baik saja..."
[Liene] "Akan lebih baik jika kau makan lebih banyak. Tapi memaksamu makan akan lebih buruk, jadi makanlah lagi nanti."
[Klima] "Ya, ya..."
Klima memejamkan mata, terlihat entah mengapa lebih lemah daripada sebelum makan. Waktu makan bubur yang terasa singkat bagi Liene tetapi sangat lama bagi Klima hampir berakhir.
Gedebuk! Gedebuk! Gedebuk!
Suara orang berlari menaiki tangga dengan keras terdengar hingga ke dalam kamar.
[Randall] "Tuanku! Ada urusan mendesak!"
Ternyata Randall. Karena ia berteriak sebelum mengetuk pintu, Black tidak mungkin tidak tahu bahwa urusannya memang mendesak.
[Liene] "Aku akan membukanya."
Liene dengan cepat berbalik dan membuka pintu.
[Liene] "Sir Randall? Apa kau baik-baik saja?"
[Randall] "Ah, Putri... Huuu, tentu saja saya baik-baik saja. Apakah Tuanku ada di dalam?"
[Liene] "Ya. Silakan masuk."
Liene menyodorkan segelas air kepada Randall yang terengah-engah. Randall melirik Black, lalu menolak dengan sopan.
[Randall] "Saya baik-baik saja."
[Liene] "Benarkah? Kau terlihat kehabisan napas."
[Randall] "Tidak mungkin. Saya hanya menaiki tangga sebentar. Ngomong-ngomong, saya baru saja bertemu dengan informan."
Informan yang mahal tetapi kompeten, entah dari mana berhasil mencuri dengar urusan internal istana. Dan ia dengan jujur menjualnya kepada Black.
[Randall] "Raja dan Putri Blini tampaknya sudah berpisah."
Mendengar kabar yang ditunggu-tunggu, ekspresi semua orang berubah. Klima, yang sedang terengah-engah seolah akan mati setelah menghabiskan semangkuk bubur, juga membuka matanya lebar-lebar.
[Liene] "Apa maksudnya?"
[Randall] "Hubungan mereka sepertinya retak. Ia bilang belum bisa memastikan detailnya, tetapi Raja sangat marah karena Putri Blini mencoba melarikan diri kemarin."
Cerita tentang Komandan Garda dan Sekretaris, serta beberapa orang lainnya, yang dipenggal di tempat juga disampaikan.
[Randall] "Dan ada satu hal lagi yang informan katakan. Ia tidak yakin apa yang terjadi karena kejadiannya sangat janggal."
Inilah yang sebenarnya.
[Randall] "Raja ternyata pernah memberikan cincin kepada Putri Blini. Tetapi Raja mencoba mengambilnya kembali, tetapi Putri Blini melawan lalu menelan cincin itu. Informan bilang cerita ini begitu aneh sehingga semua orang berpura-pura tidak melihatnya."
Raja memang sering memberi perhiasan, tetapi tidak pernah memberikan cincin. Fakta bahwa Raja diduga memberikannya dan kemudian berusaha mengambilnya kembali, membuat insiden tersebut terlihat sangat tidak pantas dan memicu kecurigaan hubungan rahasia antara Raja dan Putri Blini, meskipun Pangeran sudah meninggal.
[Black] "Jika itu cincin pemberian Raja, Blini tidak akan menelannya."
Black, yang tahu karakter Blini, dapat menebak situasinya secara kasar.
[Black] "Itu pasti cincin yang harus diberikan kepadaku."
[Randall] "Saya juga berpikir itu cincin yang Tuanku cari, tetapi bukankah aneh? Apa yang Raja Sharka tahu tentang cincin milik Tuanku? Bukankah hanya beberapa orang yang mengetahuinya?"
Jika rahasia cincin diketahui Kerajaan Sharka, masalahnya akan menjadi rumit. Pasti akan ada orang lain yang akan menginginkannya juga dan akan sulit untuk mendapatkannya kembali.
[Liene] "Tidak mungkin Raja tahu. Kita saja baru tahu belum lama ini."
Liene berbicara setelah berpikir sejenak.
[Black] "Aku juga berpikir begitu. Bahkan jika Putri Blini tahu sesuatu tentang cincin, ia tidak akan memberitahu Raja."
[Randall] "Kalau begitu, mungkinkah itu cincin lain yang dihadiahkan Raja?"
[Black] "Seperti yang kukatakan, jika memang pemberian Raja, Blini tidak akan menelannya."
Liene menghela napas ringan.
[Liene] "Blini pasti benar-benar tidak ingin cincin itu direbut."
Dalam kata-kata yang bernada helaan napas, tersirat kekhawatiran kecil:
Apakah Putri Blini masih sangat mencintaimu?
[Black] "Mungkin karena cincin adalah satu-satunya senjata yang ia miliki sekarang. Jika cincin direbut, ia tidak punya apa-apa lagi untuk bernegosiasi denganku."
Randall mengungkapkan kekhawatirannya.
[Randall] "Tetapi Raja Sharka sepertinya belum bergerak. Ia perlu persiapan jika ingin menyerahkan Putri Blini kepada kita. Informan juga tidak mengatakan ada pergerakan pasukan. Haruskah kita menunggu lebih lama?"
Raja Sharka terkenal labil. Meskipun hubungannya dengan Putri Blini retak, tidak ada yang tahu kapan ia akan berubah pikiran.
[Black] "Masih ada waktu."
Batas waktu yang ditetapkan Black adalah hari ini. Hari ini masih panjang.
[Randall] "Bagaimana jika Raja memutuskan untuk tidak menyerahkan Putri Blini? Apakah benar-benar akan terjadi perang?"
[Black] "Jika Raja Sharka sebodoh itu, tidak ada cara lain."
Black sudah memutuskannya kemarin.
[Randall] "Bagaimanapun, ia seorang Raja. Apakah ia sebodoh itu? Perang hanya demi Putri Blini yang membunuh Pangeran—itu tidak masuk akal secara hitungan untung-rugi."
[Black] "Ada banyak Raja yang sebodoh itu, sampai-sampai mereka tidak tahu apa yang disebut hitungan untung-rugi."
[Randall] "Hmm... Yah, Anda benar. Kalau begitu, saya harus mengantisipasinya."
Black dan Randall membicarakan perang seolah-olah masalah sederhana, padahal sama sekali tidak demikian. Bagi Liene, yang belum pernah mengalami perang, itu keputusan yang ingin ia hindari sebisa mungkin.
[Liene] "Aku berharap kita bisa menyelesaikannya hanya dengan mendapatkan cincin kembali."
Liene melanjutkan sambil mengelus rambut Black yang duduk di kursi.
[Liene] "Perang adalah masalah yang terlalu besar."
[Black] "Meskipun begitu, perang tidak akan berlangsung lama."
[Liene] "Tetap saja."
Mengenai perang, waktu Black dan Liene akan terasa sangat berbeda. Bahkan jika perang berakhir dalam sehari atau dua hari, bagi Liene akan terasa sangat lama hingga membuat hatinya hangus.
[Liene] "Aku harus berdoa agar Raja Sharka bukan orang bodoh."
Black tersenyum lembut, dengan wajah tenang yang tidak menunjukkan bahwa ia sedang mempertimbangkan perang.
[Black] "Aku juga berharap hal yang sama."
Tetapi harapan dan keyakinan adalah dua hal yang berbeda.
[Pelayan] "Hiks... hiks... Sejauh yang saya tahu..."
Para pelayan segera membuka mulut. Faktanya, mereka tidak tahu banyak sehingga tidak perlu merahasiakannya lagi.
[Pelayan] "A-ada rumor bahwa cincin itu... adalah milik Komandan Tiwakan..."
Tidak ada pelayan yang tidak tahu tentang Putri Blini yang lebih dahulu mengajukan lamaran pernikahan kepada Komandan Tiwakan. Meskipun tidak ada yang tahu pasti tentang kisah di balik cincin sejak awal, mereka semua pernah mendengar bahwa Blini sangat menyukai Black hingga melamarnya. Oleh karena itu, cincin yang Blini sayangi secara tidak wajar dikaitkan dengan rumor itu.
[Raja] "Apa?"
Raja membuka matanya lebar-lebar ketika nama yang tidak terduga muncul. Garda Kerajaan yang tadi mencengkeram pakaian pelayan dan memaksanya berbicara, melonggarkan cengkramannya.
[Raja] "Kau bilang Komandan Tiwakan?"
[Pelayan] "Y-ya..."
Pelayan yang mengangguk kemudian bertatapan dengan Blini yang mengawasi dari sisi lain, dan wajahnya langsung pucat.
[Pelayan] "I-itu hanya rumor. Kami tidak tahu pasti."
[Raja] "Mau rumor atau bukan, tetap saja!"
Raja tidak bisa menahan diri dan berteriak. Pelayan meringkuk seolah hendak menangis, dan Blini memejamkan mata seolah pasrah.
[Raja] "Jadi, apakah karena itu kau mencoba membunuh Putri Nauk?"
[Blini] "......"
[Raja] "Jawab! Buka mulutmu!"
Meskipun Raja berteriak hingga urat lehernya menonjol, Blini tidak menjawab. Yang baru saja dihancurkan bukan rahasianya, melainkan harga dirinya yang terakhir.
[Raja] "Sialan! Mengapa kau tidak menatapku! Mengapa kau tidak bicara!"
[Blini] "......"
[Raja] "Cepat! Jawab! Cepat!"
[Blini] "......"
Buk!
Raja yang tidak dapat menahan amarahnya, mendorong Blini dengan kasar. Ia ambruk ke lantai. Dengan sikap yang sama sekali tidak cocok dengannya, Blini yang tertelungkup di lantai, memiringkan lehernya dengan lemah.
[Raja] "Beraninya kau! Beraninya kau padaku!"
Raja menghentakkan kaki ke lantai. Tetapi, meskipun Raja melampiaskan amarah, Blini tidak bergerak sama sekali. Ia seperti patung yang kehidupannya telah lenyap.
Raja menunjuk Blini dengan jarinya.
[Raja] "Segera! Segera tangkap dia dan penggal..."
[Garda] "...... Yang Mulia?"
Garda Kerajaan menarik pedang mereka dengan setengah hati. Namun, tepat ketika pedang yang tajam akan bergerak, Raja berubah pikiran.
[Raja] "...... Tidak, tidak!"
Raja mendorong Garda Kerajaan dan mengulurkan tangan.
[Raja] "Aku akan memenggalnya sendiri. Berikan pedang itu padaku. Aku akan mengirim mayatnya tanpa kepala kepada Tiwakan."
[Garda] "Yang Mulia..."
Garda Kerajaan terkejut, tetapi mereka tidak bisa menolak perintah Raja. Pedang diserahkan ke tangan Raja. Ia berbalik menghadap Blini, memegang pedang dengan posisi yang canggung.
[Raja] "Dosa yang kau lakukan pada kerajaan ini tidak ada habisnya. Aku sendiri yang akan menuntut hukuman atas dosa-dosamu."
[Blini] "......"
Blini tidak bergerak, meskipun ia tahu pasti Raja sedang memegang pedang.
[Raja] "...... Sialan!"
Klang!
Karena tidak berhasil juga, Raja melempar pedang itu dan mendekati Blini, mencengkeram lengannya dengan kasar. Kemudian, Raja menyeret tubuhnya menuju kamar sebelah.
[Raja] "Jangan ada yang membuka pintu ini!"
Kamar sebelah adalah kamar tidur Raja, karena ruangan tempat Blini berada bersama para pelayan adalah ruang keluarga.
Brak!
Pintu tertutup. Blini yang tadinya kaku seperti patung, sedikit mengerutkan kening. Begitu hanya ada mereka berdua di kamar, udara terasa memuakkan.
[Raja] "Kau... kau beraninya..."
Raja menggertakkan gigi ke wajah Blini yang mengerut.
[Raja] "Beraninya kau padaku...!"
[Blini] "......"
Yang Raja tunjukkan adalah perasaan dikhianati. Blini, yang tidak bergerak seperti patung, kini bangkit. Dia dengan cepat menyadari dari mana rasa pengkhianatan Raja berasal.
Raja tidak menganggap kematian putranya sebagai pengkhianatan. Raja marah karena cincin itu. Raja ingin memiliki Blini. Karena ia tidak bisa memilikinya, Raja merasa dikhianati dan marah.
[Blini] "Yang Mulia."
Blini tahu seperti apa rasanya. Karena ia juga merasakan hal yang sama saat ini. Perasaan ingin membunuh dan melenyapkan Black karena ia tidak bisa memilikinya sudah ia rasakan sejak lama.
Blini mencengkeram kerah Raja dengan kekuatan yang mengejutkan.
[Blini] "Bunuh dia untukku."
[Raja] "...... Apa?"
[Blini] "Bunuh dia untukku. Maka hatiku akan bebas."
Berarti Blini bisa meninggalkan Black dan memilih pria mana pun.
[Blini] "Bunuh dia."
[Raja] "......"
Bola mata Raja bergetar keras seolah-olah tersapu badai.
JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar