A Barbaric Proposal Chapter 115
- Crystal Zee

- 6 hari yang lalu
- 7 menit membaca
Memohonlah Padaku
Black tidur lebih larut dari Liene. Ia punya urusan yang harus diselesaikan saat Liene tidak ada.
[Black] "......"
[Laffit] "......"
Ada alasan di balik keheningan yang mencekam.
Laffit Kleinfelter, yang terbangun karena ditampar oleh Randall saat sedang tidur, dan Black, yang menyuruhnya dibangunkan, bukanlah dua orang yang cocok untuk berbincang.
[Laffit] "......Apa-apaan. Kalau sudah membangunkanku, katakan saja apa urusanmu."
Laffit orang yang pertama tidak tahan lagi menanggung ketegangan saat berhadapan dengan Black.
[Laffit] "Kenapa kau hanya menatapku tanpa ekspresi!"
[Black] "Diam."
Black berbicara dengan suara rendah dan pelan.
[Black] "Liene sedang tidur, meskipun kita agak jauh darinya."
[Laffit] "Sialan..."
Laffit menggertakkan gigi.
Dalam beberapa hari, ia sudah berubah total. Wajahnya yang kurus dan kasar membuat siapa pun tidak akan tahu bahwa ia dilahirkan sebagai putra tertua Keluarga Kleinfelter. Kejatuhan keluarganya tercermin langsung pada penampilannya.
[Laffit] "Apa kau membangunkan orang yang sedang tidur pada jam segini hanya untuk mengatakan itu? Untuk menyombongkan bahwa kaulah yang tidur seranjang dengan Liene? Sialan, meski begitu, posismu tetap di bawahku. Jabatan apa yang kau... Ugh..."
Bahkan tanpa Black harus bertindak, Randall sudah membekap mulut Laffit.
[Randall] "Jaga ucapanmu."
[Laffit] "Ugh..."
Seolah belum cukup, Randall bahkan memukul kepala Laffit sekali lagi.
[Randall] "Cih-cih... Memang begini ya keturunan mereka. Sudah berada di ambang kematian pun masih tidak sadar di mana posisinya."
[Laffit] "......!"
Laffit melakukan perlawanan bodoh dengan tubuhnya yang hancur. Tetapi hanya sesaat. Laffit Kleinfelter cepat menyerah. Ia menjalani hidup yang terlalu nyaman untuk berpegangan pada sesuatu dengan putus asa.
Ia tidak pernah mengenal kekurangan. Semua hal selalu diberikan kepadanya. Liene pun sama. Liene diberikan kepadanya seolah hal yang wajar. Yang tidak diketahui Laffit adalah kenyataan bahwa apa yang ada di tangannya bisa saja lenyap.
Black mendekati Laffit yang sudah tenang.
[Black] "Kau punya dua pilihan."
[Laffit] "...?"
Laffit mengangkat kepalanya yang tadinya terkulai miring.
[Black] "Pergi dari sini, atau tetap tinggal."
Randall dengan cepat melepaskan tangan yang menutupi mulut Laffit.
[Laffit] "Apa... Apa maksudmu?"
[Black] "Jika kau mengatakan yang sebenarnya di depan Ratu Dileras besok, aku akan mengambil alih untuk menghukum dan menahanmu. Jika kau memilih diam, aku akan menyerahkanmu kepada Ratu."
[Laffit] "Mengatakan kebenaran apa?"
[Black] "Apa pun yang sudah kau lakukan dengan menantu Raja. Baik itu membunuh Pangeran Vasheyd atau pun membuat menantu Raja mengandung anak. Jika kau mengatakan yang sebenarnya, aku akan memastikan Ratu Dileras tidak bisa menyentuhmu."
[Laffit] "Apa... kau gila. Kau akan menyelamatkanku? Kau? Bukan orang lain?"
[Black] "Saat ini, aku tidak punya alasan untuk memenggal kepalamu. Liene juga tidak terlalu menyukainya."
Ucapan Black bukan kebohongan.
Laffit, yang telah kehilangan segalanya, tidak lagi menjadi ancaman yang harus disingkirkan. Ia terlalu remeh untuk repot-repot dibunuh.
[Laffit] "Bagaimana jika aku memilih diam?"
[Black] "Ratu Dileras akan tahu cara untuk membuatmu bicara. Keluarga Ratu pasti tahu banyak teknik penyiksaan yang bagus."
[Laffit] "Ugh..."
Laffit meringis mendengar kata penyiksaan.
[Black] "Bagiku, itu malah lebih baik. Harus ada harga yang harus kau bayar karena berani menginjakkan kaki di Nauk lagi."
[Laffit] "Harga??"
Laffit menghela napas hampa seolah tak percaya.
[Laffit] "Bukankah keadaanku sekarang adalah harganya? Apa kau tahu rasanya kelaparan hidup-hidup di lubang seperti kuburan itu...!"
[Black] "Baguslah."
Black tertawa singkat. Kata-kata Laffit terputus.
[Black] "Kau tipe manusia yang menderita hanya karena kelaparan selama beberapa hari. Penyiksaan yang sesungguhnya pasti akan sangat efektif."
Black bangkit dengan ringan.
[Black] "Kalau begitu, aku anggap kau memilih pilihan kedua. Tidurkan dia lagi."
[Randall] "Baik, Tuanku."
Randall mencengkeram kerah baju Laffit. Jika ia memukul titik vital yang tepat di belakang kepala, seseorang pasti akan tertidur nyenyak.
[Laffit] "Tu-tunggu...! Aku belum memilih apa pun!"
Laffit berteriak tergesa-gesa sebelum kepalanya dipukul.
[Laffit] "Jika kau mengambil alih penahananku, katakan apa yang akan kau lakukan."
[Black] "Aku akan membiarkanmu pergi ke tempat selain Nauk maupun Sharka. Kali ini, aku bahkan akan memberimu biaya perjalanan. Karena aku sudah menjadi orang yang sangat baik."
Ucapan tambahan Black dengan ekspresi datar membuat Randall dan Laffit menunjukkan ekspresi yang sama. Mereka tampak bertanya-tanya dari mana ucapannya berasal.
[Laffit] "Apa... kau yakin? Bisakah kau berjanji?"
Laffit, yang bertanya dengan ragu, tidak menunjukkan sedikit pun harga diri. Ia bahkan tidak merasa malu sebagai seorang pria yang meminta janji atas nyawanya kepada Black, bukan orang lain.
[Black] "Jika kau berjanji."
[Laffit] "Kalau begitu... kalau begitu baik. Aku akan mengatakan yang sebenarnya."
[Black] "Terserah."
Black, yang sudah menduga Laffit akan memilih pilihan pertama, berbalik tanpa banyak ekspresi.
[Black] "Sekarang tidurkan dia. Jangan sampai ada keributan."
[Randall] "Baik, Tuanku."
Black kembali ke kamar tidur dengan memelankan langkahnya, dan Liene tertidur nyenyak. Bulan di tepi pantai tampak begitu besar sehingga ia bisa melihat bayangan tipis yang dibentuk oleh bulu mata Liene.
Saat Black dengan hati-hati naik ke tempat tidur, Liene menggeliat dan mendekat ke dalam pelukannya. Ia terkejut sesaat, mengira Liene mungkin terbangun, tetapi ternyata tidak.
Melihat Liene menempelkan wajahnya tanpa menyadari pipinya tertekan, itu pasti kebiasaan tidur yang baru ia miliki.
Black tertawa kecil, menundukkan kepalanya dan menyentuh ubun-ubun Liene dengan bibirnya. Mungkin ide bagus untuk membangun istana di tepi laut hanya untuk mereka berdua.
Kabar beredar di Istana Kerajaan Sharka bahwa Putri Nauk dan suaminya sedang berbulan madu, dan kebetulan Ratu Dileras mengetahuinya lalu menjamu mereka sejak pagi hingga malam.
Cerita aneh yang tidak sesuai dengan waktu. Aneh jika tamu datang berkunjung ke negara yang sedang berkabung dan baru saja mengadakan pemakaman Pangeran Pertama. Aneh pula bahwa Ratu menyambut tamu tersebut dengan senang hati. Padahal, Ratu dikabarkan dalam kondisi buruk, sering menangis dan melempar barang-barang.
Fakta bahwa Putri dari negara asing menanggapi undangan Ratu juga merupakan tindakan yang sia-sia. Ratu kini telah kehilangan semua kekuasaannya. Ia diusir oleh Raja, dan Pangeran Pertama telah meninggal.
Tidak ada yang bisa memberinya kekuasaan. Kekuatan nyata di istana kini bergeser pada Putri Blini, yang akan melahirkan Pangeran Pertama berikutnya. Raja bahkan sibuk mengusir kerabat kerajaan yang tidak menyukai Putri Blini. Oleh karena itu, undangan mendadak kepada tamu di istana terpisah menjadi hal yang membingungkan.
Dan hal yang paling aneh dari semua itu adalah, setelah para tamu kembali, Ratu Dileras mengirim surat kepada Raja.
[Raja] "Ah, sudahlah. Sungguh menyebalkan."
Raja memberi isyarat kepada sekretaris yang menawarkan untuk membacakan surat agar mundur. Sekretaris itu terkejut lalu mundur.
[Raja] "Pasti berisi hal yang sama lagi. Soal makam Pangeran, soal upacara peringatan. Mengapa Ratu terus mendesak untuk mengadakan upacara yang sudah selesai?"
Raja yang berusia di atas 60 tahun itu masih memiliki gairah dan energi yang berlebihan. Ia benci hal-hal suram seperti kematian merusak suasana hatinya. Perhatian Raja terfokus pada bagaimana ia bisa menghabiskan setiap momen yang tersisa dengan lebih menyenangkan dan penuh kenikmatan. Misalnya, menikmati wajah menantunya yang muda dan segar, yang kini ditinggal sendirian setelah putranya yang tidak berguna meninggal.
Tidak, mungkin memang sudah sejak awal ia sudah seperti itu. Sejak menantu dari Grand Duchy Alito menginjakkan kaki di kerajaan ini sebagai mempelai putranya, Raja menjadi bersemangat. Hanya dengan menatap wajahnya, ia merasa awet muda tanpa batas. Karena wajah Blini, kesedihan atas kematian putranya tidak mendapatkan tempat.
[Raja] "Bagaimana menurutmu? Bukankah perkataanku benar?"
Di istana yang ditinggalkan Ratu, kini giliran Putri Blini yang menjaga tempat di samping Raja.
[Blini] "......"
Blini hanya tersenyum singkat, menatap mata Raja sebagai jawaban. Bagi Raja, itu sudah cukup.
Blini sangat menarik karena ia tidak pernah mengucapkan hal yang tidak perlu. Blini mirip dengannya. Ia tahu bagaimana caranya untuk fokus pada hal yang paling penting saat ini.
[Raja] "Kupikir kau akan mengenakan gaun baru hari ini."
Karena kasihan melihat menantunya masih mengenakan pakaian berkabung, Raja mengirimkan gaun baru. Ia berharap Blini akan mengenakan gaun itu dan menyenangkan matanya, tetapi hari ini ia masih mengenakan pakaian berkabung yang serupa.
[Blini] "Masih terlalu cepat."
Blini mengubah posisi kakinya di bawah pakaian berkabung. Raja menghirup udara, seolah mencium aroma yang harum.
Jika Ratu meninggal atau pergi atas kemauannya sendiri, mungkinkah Raja menikah lagi dengan Blini?
Raja memiliki harapan itu. Meskipun saat ini ia hanya bisa memegang tangannya, jika anak yang akan lahir disebut Pangeran, tidak akan terlalu aneh jika Blini dipanggil Ratu. Blini juga pasti tahu perasaannya. Jika tidak, ia tidak akan menatap Raja dengan isyarat untuk mendekat dengan cara yang begitu cerdik.
[Raja] "Tidak terlalu cepat. Pemakaman sudah selesai."
[Blini] "Dia suamiku, jadi aku harus tetap mengingatnya."
Blini memiringkan kepalanya dengan wajah malas, seolah mengatakan sudah cukup, lalu bergumam pelan.
[Blini] "Pakaian ini memang berat... Haruskah aku ganti?"
Raja mengangguk kuat.
[Raja] "Kalau memang begitu, ganti pakaianmu sekarang juga. Tidak ada orang yang keluar masuk sekarang."
[Blini] "...Sepertinya Anda sangat ingin melihatnya."
Blini tersenyum dengan ekspresi yang sedikit tajam lalu bangkit dari tempat duduknya.
[Blini] "Kalau begitu, aku akan pergi dan mencobanya."
[Raja] "Aku akan menemanimu."
Raja dengan tidak tahu malu bangkit mengikuti Blini. Blini menghentikannya.
[Blini] "Duduk saja. Bagaimana jika ada yang melihat?"
[Raja] "Apa kau peduli?"
Hal seperti itu membuat Raja bersemangat. Raja tersenyum tipis dan menepuk punggung tangan Blini.
[Raja] "Pergilah."
[Blini] "......"
Blini berbalik dengan cepat tanpa memberikan salam yang berarti dan meninggalkan kamar Raja. Raja mengecap bibirnya seperti kehausan saat melihat punggung Blini menjauh.
[Blini] "Kotor. Aku harus mandi. Rasanya ada yang menempel."
Blini kembali ke istana Pangeran dan menarik gaun berkabung yang membuatnya sesak. Para pelayan bergegas membantu melepaskan pakaian yang sulit dilepas sendiri.
Masalahnya, Blini tidak kembali sendirian. Sekretaris Raja berdiri dengan sopan di sudut kamar tidur, memegang surat di tangannya. Blini yang telah melepaskan pakaian beratnya, berjalan telanjang kaki menuju kamar mandi. Ia memberi isyarat dengan tenang ke belakang punggungnya.
[Blini] "Masuk. Bacakan surat itu."
[Sekretaris] "...Baik, Putri."
Sekretaris Raja mengejar Blini dengan langkah cepat tanpa menunjukkan rasa terkejut. Para pelayan juga mengikuti, bergegas mengisi bak mandi dengan air. Meskipun airnya terasa agak dingin, Blini masuk ke bak mandi tanpa peduli.
Di tangan yang muncul dari air, sebuah cincin tebal yang tidak cocok dengan tangan putihnya bahkan saat mandi, mencuri perhatian. Alasan ibu jari Blini terangkat dengan canggung adalah karena ia memutar hiasan besar pada cincin untuk menyembunyikannya.

[Blini] "Kenapa kau diam saja? Cepat bacakan."
[Sekretaris] "Ya, Putri."
Sekretaris membuka surat dari Ratu dan mulai membacanya. Jika surat-surat yang dikirim Ratu sebelumnya penuh dengan penyesalan dan permohonan, surat hari ini berbeda. Surat hari ini adalah undangan yang mengatakan bahwa ada seseorang di istana terpisah yang menyuruh Blini untuk datang dan menemuinya.
[Blini] "Siapa yang ada di sana?"
Blini yang gelisah, menyela dan bertanya. Sekretaris ragu sebentar lalu dengan cepat memindai kalimat dengan matanya.
[Sekretaris] "Dia mengatakan ada seseorang yang ingin berbicara mengenai anak Pangeran Pertama yang akan lahir."
[Blini] "...Siapa dia?"
[Sekretaris] "Dia tidak menyebutkan namanya."
[Blini] "......"
Blini menggigit bibirnya.
Black sudah bertemu dengan Ratu Dileras. Tiba-tiba Ratu Dileras mengetahui sesuatu tentang anaknya. Blini membawa ibu jarinya ke mulut dan menggigit cincin itu perlahan.
[Blini] "...Bukankah dia seharusnya memohon jika ingin mendapatkannya?"
Alih-alih muncul dan memohon, Black memilih untuk mencekik napasnya.
[Blini] "Kenapa dia tidak muncul di hadapanku?"
Apakah yang kulakukan belum cukup untuk memanggilnya? Padahal dia sudah tahu semuanya.
Mengapa, kenapa?!
(T/N: Blini melakukan berbagai tindakan ekstrem—menyimpan cincin, mengundang Grand Duke Alito ke perjamuan, anak yang dikandungnya dan perselingkuhannya dengan Raja—untuk menarik perhatian Black dan memaksanya datang langsung untuk bernegosiasi)
JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar