top of page

A Barbaric Proposal Chapter 114

  • Gambar penulis: Crystal Zee
    Crystal Zee
  • 16 Okt
  • 8 menit membaca

Diperbarui: 7 hari yang lalu

Jika Ada Laut

Black mendudukkan Liene di kursi dan mengambil handuk kering. Ia mulai mengeringkan rambut Liene yang basah dengan handuk, seperti yang ia lakukan sebelumnya.

[Liene] "Bagaimana jadinya jika Nauk punya laut?"

Liene membuka mulutnya sambil memandangi laut, di mana suara ombak terdengar di balik teras.

[Liene] "Pasti akan menjadi negara yang sangat berbeda, kan? Makanan, gaya hidup, dan cara memandang negara asing juga akan sangat berbeda, kurasa."

[Black] "Apakah kau menginginkan laut?"

[Liene] "Hmm... Bukankah ucapanmu aneh? Manusia tidak bisa memiliki laut. Tapi aku agak iri. Laut benar-benar berbeda dari danau atau sungai. Airnya bergerak seolah-olah hidup"

Kata yang paling keras terdengar di telinga Black adalah "iri."

[Black] "Kita bisa memindahkan perbatasan."

[Liene] "Apa?"

[Black] "Sampai ke tempat di mana ada laut. Aku rasa akan memakan waktu sekitar setengah tahun."

[Liene] "...Apa?"

Liene berkedip, tidak yakin apa yang baru saja ia dengar, lalu melompat kaget ketika menyadari Black sedang membicarakan perang penaklukan.

[Liene] "Apa yang kau katakan! Kita akan menyerang Kerajaan Sharka? Kerajaan sebesar ini?"

[Black] "Jika kita ingin melakukannya, sekarang adalah waktu yang tepat. Karena keluarga kerajaan akan terpecah karena masalah ini. Jika kita bergandengan tangan dengan kekuatan yang menentang Raja, kita bahkan tidak perlu membawa pasukan selain Tiwakan."

[Liene] "Wow..."

Liene membalikkan tubuhnya dari kursi dan memegang wajah Black.

[Liene] "Kenapa kau membicarakan perang semudah ini?"

[Black] "Karena kukira aku bisa memberikan laut kepadamu."

[Liene] "Astaga, sungguh."

Liene terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ini menjadi pelajaran: ia tidak boleh sembarangan mengatakan iri pada apa pun di depan pria ini.

[Liene] "Kita ini baru saja menikah, dan kau ingin kita berpisah selama setengah tahun? Lupakan saja. Aku tidak butuh laut seperti itu."

Black tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

[Black] "Itu alasanmu menolak?"

[Liene] "Apa perlu alasan lain?"

[Black] "Tidak."

Black menyingkirkan handuk dari kepala Liene yang rambutnya masih basah.

[Black] "Aku kira itu alasan terbaik di antara semua alasan kau menolak tawaranku. Tapi pikirkanlah baik-baik. Kesempatan seperti sekarang tidak datang setiap saat."

[Liene] "Nauk punya banyak tanah kosong. Mungkin tidak terhindarkan karena populasinya berkurang. Aku kira lebih penting untuk melindungi apa yang sudah kita miliki daripada menginginkan milik orang lain."

[Black] "...Kau benar. Meskipun laut agak sayang untuk dilewatkan."

Liene menjauhkan kepalanya dan mengamati ekspresi Black.

[Liene] "Sebenarnya, jangan-jangan kaulah yang menginginkan laut, ya?"

Black tidak menyukai laut. Ia tidak suka bau asin, dan terutama ia membenci perang laut. Ada terlalu banyak variabel yang tidak bisa dikendalikan manusia.

[Black] "Mungkin."

Tetapi Liene tidak perlu tahu urusan remeh-temeh seperti itu.

[Black] "Hadapkan kepalamu kesini. Bagaimana kalau kita jalan-jalan di tepi pantai setelah rambutmu kering?"

Handuk kembali mengusap rambut Liene dengan lembut. Liene menurunkan pandangannya, mengikuti gerakan jari Black.

[Liene] "Ah, ide bagus. Aku ingin melihat dari dekat. Tapi aku kira tempatnya lebih jauh dari yang terlihat. Apa kita akan menghabiskan terlalu banyak waktu ke sana?"

[Black] "Katanya ada jalan setapak yang mengarah ke pantai dari belakang penginapan. Tidak jauh."

[Liene] "Kalau begitu, ayo."

Setelah mengeringkan rambut Liene dengan saksama, keduanya mengenakan jubah tipis dan menuju ke pantai. Liene sangat gembira, mengatakan bahwa pasir putih yang berkilauan sangat halus dan indah, sementara Black melupakan waktu saat mengawasi Liene.

Sepertinya memindahkan perbatasan adalah masalah yang harus dipertimbangkan dengan serius. Tapi, jangan sekarang, mungkin setelah bulan madu mereka berakhir.

Saat matahari mulai terbenam, laut menjadi merah. Liene memandangi matahari merah hingga tenggelam sepenuhnya di cakrawala, sinarnya tidak menyakiti mata.

Liene berpikir bahwa momen bersama pria yang menawarkan laut akan bertahan selamanya di hati Liene.


A Barbaric Proposal Chapter 114: Liene terkesima dengan laut Sharka. Black, ingin membuat Liene senang, dengan santai menawarkan untuk memindahkan perbatasan (melancarkan perang penaklukan) untuk memberikan laut pada Nauk, tetapi Liene menolak karena tidak ingin berpisah darinya selama perang. Mereka kemudian menikmati pemandangan matahari terbenam di pantai. Baca light novel & web novel korea terjemahan indonesia

[Pelayan] "Ratu."

Ratu Sharka, Dileras, menegangkan pembuluh darahnya karena suara pelayan yang memanggilnya dengan hati-hati.

[Dileras] "......."

[Pelayan] "Ratu."

Ketika Ratu Dileras tidak menjawab dengan kening berkerut, pelayan itu memanggilnya lagi dengan wajah penuh kecemasan.

[Pelayan] "Itu, tolong Anda..."

[Dileras] "Sudah kubilang, HENTIKAN!"

BUK!

Sekali lagi, sebuah barang dilemparkan. Pelayan malang terkena vas marmer yang dilemparkan Ratu ke lututnya. Air matanya berlinang karena rasa sakit.

[Dileras] "Apa telingamu tuli! Sudah berapa kali kubilang aku tidak butuh apa pun!"

[Pelayan] "... Sekretaris mengatakan Anda harus mengirim balasan..."

Pelayan itu berhasil menyelesaikan kalimatnya sambil terisak.

Sejak dipindahkan—atau lebih tepatnya, diusir—ke istana terpisah, gangguan emosi Ratu Dileras tidak dapat dikendalikan bawahannya. Karena Ratu tidak makan, para pelayan tidak punya waktu untuk makan. Karena Ratu tidak tidur, para pelayan tidak berani menyebut kata tidur. Pelayan yang sedang berbicara sekarang pun memiliki lingkaran hitam di bawah matanya.

[Pelayan] "Atau kehormatan Ratu akan..."

[Dileras] "Kehormatan, kehormatan! Kehormatan apa lagi yang tersisa dariku! Suamiku meninggalkanku, dan gundik anakku yang sudah mati menggantikan tempatku! Kehormatan macam apa itu? Apa yang akan terjadi jika aku mempertahankan kehormatan sekarang!"

[Pelayan] "Ratu... Tenanglah. Jika Anda terus seperti ini, tubuh Anda akan sakit..."

Pelayan tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena menahan isakan.

[Dileras] "Ha!"

Ratu Dileras, yang menghela napas berat, merebahkan diri di sofa.

[Dileras] "Aku tidak butuh apa-apa... Aku yang masih muda akan mati di sini. Aku akan mati dan mengutuk suamiku... dan juga wanita kotor itu... Ugh!"

Ratu Dileras membungkuk dan terbatuk-batuk, seolah memikirkannya saja sudah membuatnya mual. Ia terus meyakinkan diri bahwa hubungan mereka hanya dugaan, tetapi reaksi suaminya sama sekali bukan seperti menghadapi menantu, melainkan gundiknya.

Raja menyeringai seperti orang idiot ketika mendengar Blini hamil. Ia mengatakan hal-hal gila, menjanjikan posisi Pangeran Pertama kepada anak yang belum lahir. Raja mengusap pipi Bliny, menepuk punggung tangannya, dan mengelus dadanya, menyebutkan betapa beratnya bagi wanita yang sedang mengandung.

[Dileras] "Seharusnya aku muntah saja saat itu..."

Bukan rahasia lagi bahwa Raja mengganti gundiknya setiap musim, tetapi Ratu Dileras tidak pernah menyangka Raja akan menyentuh menantunya sendiri. Mayat putranya pasti membuka mata di dalam kubur.

Namun, Ratu tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun suaminya gila karena berselingkuh dengan menantunya, dia adalah Raja. Air mata yang Ratu kira sudah mengering dalam beberapa hari terakhir tumpah kembali. Ketika Ratu mulai terisak, pelayan dengan cepat membawakan sapu tangan.

[Pelayan] "Ratu. Mungkin Anda akan merasa lebih baik jika melihat hadiahnya."

[Dileras] "Biarkan sa... Ah, tunggu. Kau bilang hadiah?"

Pelayan itu mendesah dalam hati. Ia sudah mencoba menyampaikan bahwa ada hadiah yang datang dari Nauk sejak siang tadi, tetapi Ratu Dileras hampir tidak mendengarkannya.

[Pelayan] "Ya, Ratu. Ini hadiah yang dikirim dari Kerajaan Nauk."

[Dileras] "Nauk?"

Ratu Dileras memeras ingatannya yang samar-samar.

[Dileras] "Di sana... Oh, ya. Bukankah Nauk yang baru-baru ini mengasingkan seseorang? Seseorang mengeluh kepada Raja terkaitnya pengasingan itu."

Mungkin yang mengeluh adalah putra dari Pangeran Ketiga yang sudah meninggal. Karena bukan orang yang penting, Raja Sharka mengabaikan keluhannya.

Dia adalah paman Laffit Kleinfelter dari pihak ibu, dan ia mengeluh karena tidak dapat menerima keputusan Nauk untuk mengasingkan Kleinfelter, yang justru membuatnya semakin dibenci oleh Raja. *T/N: Paman di sini bukan Lyndon.

Raja tidak tertarik pada masalah anak dari keponakan (ibu Laffit) yang sudah lama menikah ke negara asing dan bahkan ia tidak ingat lagi wajah sang keponakan.*

[Pelayan] "Saya tidak tahu tentang hal itu. Sekretaris mengatakan Anda harus mengirim balasan karena ada hadiah yang datang."

[Dileras] "Hah... Mengapa negara kecil ini menggangguku yang sudah lelah? Bawa saja hadiahnya ke mari."

[Pelayan] "Baik, Ratu."

Pelayan itu, yang telah diganggu oleh sekretaris sejak sore, kini tampak lega dan dengan cepat kembali membawa hadiah dari negara asing. Hadiah itu sendiri tidak berlebihan atau tidak sesuai. Ratu Dileras menyukai kotak mutiara yang berisi daun teh yang ditanam di Nauk.

[Dileras] "Ngomong-ngomong, mengapa mereka mengirim hadiah?"

[Pelayan] "Ada surat, Ratu."

Pelayan dengan cepat menyerahkan surat. Sebenarnya, membaca surat adalah tugas sekretaris, tetapi sekretaris Istana baru-baru ini dipukul kepalanya oleh piring yang dilemparkan Ratu. Selain kepalanya yang terluka, ia juga dilarang memasuki istana terpisah. Akibatnya, hanya para pelayan yang tidak bersalah yang menderita.

[Pelayan] "Saya tidak yakin apakah saya boleh membacakannya, Ratu."

[Dileras] "Bacakan saja. Apa aku harus memegang surat itu dengan tangan yang lemas ini?"

[Pelayan] "Baiklah, jika Anda berkata begitu."

Padahal, tangan yang katanya lemas itu baru saja memegang dan memeriksa kotak mutiara. Pelayan itu diam-diam mulai membacakan kata-kata kuno yang ditulis dengan indah oleh sekretaris Kerajaan Nauk.

Ia membaca bahwa Putri Nauk baru-baru ini menikah dan sedang melakukan perjalanan ke wilayah Sharka. Sampai di situ, ceritanya hanya tentang orang lain yang tidak ada hubungan dengan Ratu. Tetapi ketika ceritanya berlanjut, ekspresi Ratu Dileras tiba-tiba berubah.

[Dileras] "...Apa katamu?"

[Pelayan] "Ya, Ratu?"

[Dileras] "Bukankah kau baru saja mengatakan sesuatu tentang hak suksesi anak!"

[Pelayan] "Y-ya?"

Pelayan terlalu fokus untuk membaca surat tanpa kesalahan sehingga ia tidak tahu apa yang ia baca.

[Dileras] "Berikan padaku!"

Ratu Dileras, yang bangkit dengan tubuh yang katanya lemas, merebut surat dari tangan pelayan.

Surat itu secara singkat dan anggun menjelaskan proses pernikahan Puti Nauk dengan Komandan Tiwakan. Jika ada yang melihatnya, mereka akan menganggapnya sebagai surat sosial untuk menjalin hubungan. Orang lain mungkin akan mengatakan Komandan Tiwakan tidak punya harga diri karena memasukkan klausul dalam perjanjian pernikahan yang mengakui anak dari garis keturunan Arsak sebagai penguasa berikutnya, tidak peduli dari anak siapa pun itu.

Tapi bagi Ratu Dileras, ini berbeda. Putri Nauk tidak akan menyebutkan suksesi takhta berikutnya kecuali ia sengaja ingin memprovokasi sang Ratu. Apalagi, Putri Nauk bahkan menambahkan kata-kata manis bahwa ia akan menyiapkan satu hadiah lagi yang pasti disukai Ratu jika mereka berkesempatan bertemu langsung.

[Dileras] "Panggil sekretaris!"

Setelah membacanya, Ratu Dileras memberi isyarat mendesak.

[Dileras] "Cepat. Katakan padanya kita harus mengirim balasan hari ini juga."

[Pelayan] "Apa? Baik, Ratu."

Pelayan juga menjadi cemas dan mencari sekretaris Istana. Surat undangan dari Ratu Dileras yang menyatakan keinginannya untuk menyambut Putri Liene dari Nauk dengan persahabatan yang erat pun melesat di bawah sinar bulan.

[Liene] "Dia bilang besok pagi juga boleh. Pintu istana terpisah akan selalu terbuka. Sepertinya dia sudah menyadari sesuatu, kan?"

Liene tersenyum simpul setelah membaca undangan yang dikirim dari Istana Kerajaan.

[Black] "Ratu Dileras katanya lebih cerdas daripada Raja. Meskipun dia terbaring sakit karena shock, otaknya tidak akan menjadi bodoh."

[Liene] "Dia pasti merasa sangat sedih. Putranya baru saja meninggal."

[Black] "Mungkin. Meskipun putranya memang akan segera mati."

Informan telah menyampaikan kabar bahwa Pangeran Vasheyd mengidap sifilis sebelum meninggal. Itu sebabnya hanya ada sedikit suara yang mencurigai adanya pembunuhan dalam kematian mendadak Pangeran. Mereka pasti berpikir tidak aneh jika Pangeran meninggal kapan saja karena ia sudah lemah dan mengidap penyakit fatal seperti sifilis.

[Liene] "Satu hal yang aku khawatirkan adalah Kleinfelter. Aku kira dia tidak akan dengan mudah mengakui kejahatannya. Mengakui sama saja dengan penghinaan dan penipuan terhadap keluarga kerajaan. Meskipun dia punya kerabat di keluarga kerajaan, dia mungkin tidak akan bisa lolos."

[Black] "Ratu Sharka pasti tahu cara untuk membuka mulut Kleinfelter. Dan tidak ada lagi kekuatan yang akan melindungi Kleinfelter."

[Liene] "Mengapa begitu?"

[Black] "Jika ada, mereka pasti sudah muncul."

[Liene] "Hmm... Kita tidak tahu pasti. Siapa yang tahu kita membawa Laffit Kleinfelter?"

[Black] "Meskipun mereka tidak tahu kita membawanya, jika ada orang yang ingin tahu tentang nyawa Kleinfelter, mereka setidaknya akan mencoba memastikan."

[Liene] "Ah, benar. Kalau begitu, kita hanya perlu berharap Ratu Sharka akan menyelesaikan masalah ini dengan baik."

[Black] "Ya."

Ratu Dileras pasti dipenuhi amarah sampai-sampai melempar barang, jadi ia tidak akan melepaskan kesempatan emas ini. Terlihat dari undangan Ratu yang sangat antusias.

[Liene] "Kalau begitu, jam berapa kita akan pergi besok?"

[Black] "Jangan khawatir dan tidurlah dengan nyaman. Kita tidak perlu bangun terlalu pagi, kita berangkat setelah kau siap."

[Liene] "Tapi Ratu Sharka akan menunggu. Dia bilang pagi juga boleh."

[Black] “Tidak berarti waktu tidur pagimu harus dikorbankan."

Liene tertawa dan menarik telinga Black dengan lembut.

[Liene] "Kadang-kadang kau terlihat seperti orang jahat. Padahal sebenarnya kau orang yang sangat baik."

[Black] "Kata-kata 'orang yang sangat baik' sepertinya tidak cocok untukku. Cukup menjadi orang baik hanya untukmu."

[Liene] "Hmm... Bagaimana, ya? Kedengarannya lebih bagus."

[Black] "Memang benar."

Black mengangkat Liene dengan ringan dan membawanya ke tempat tidur.

[Black] "Karena besok kau tidak perlu bangun pagi, tidurlah yang nyenyak."

[Liene] "Kau bohong."

Liene mengelus cuping telinga Black.

[Liene] "Kau pasti tidak punya niat sedikit pun untuk membiarkanku tidur sekarang."

[Black] "Seperti yang kubilang..."

Black berlutut di tempat tidur dan melonggarkan ikatan kemejanya.

[Black] "Aku orang yang melakukan hal-hal baik untukmu."

[Liene] "Jadi, hal baik apa yang kau lakukan sekarang?"

[Black] "Entahlah."

Black tertawa kecil dan menggigit bibir bawah Liene.

[Black] "Jawab saja sendiri."

Liene membisikkan sesuatu saat bibir mereka hampir bersentuhan.

Seperti yang Liene katakan, ajakan Black untuk tidur hanyalah kebohongan. Liene baru bisa memejamkan mata menjelang dini hari.

Translator's Note:

* Jadi silsilah keluarga Laffit yang bisa disimpulkan:

Baca Novel A Barbaric Proposal 114: Jika Ada Laut. Baca Novel A Savage Proposal Chapter 114 Bahasa Indonesia oleh Lee Yuna. Baca  Novel Terjemahan Korea. Baca Light Novel Korea. Baca Web Novel Korea

* Oleh karena itu Wistard disebut sebagai paman Laffit walaupun umur mereka kurang lebih sama.

* Semua pangeran— kecuali Pangeran Ke-1— yang disebutkan di novel ini adalah saudara Raja Sharka.


JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page