top of page

A Barbaric Proposal Chapter 109

  • Gambar penulis: Crystal Zee
    Crystal Zee
  • 13 Okt
  • 7 menit membaca

Diperbarui: 7 hari yang lalu

Suara Dewa

Wajah Liene memucat karena terkejut.

[Liene] "A-aku kebetulan baru saja akan kembali."

[Black] "..."

Black tidak bersuara, dia hanya berdiri kaku di tempat dan terus menatapnya.

[Liene] "Ayo kembali. Kau datang menjemputku, kan? Kau sudah merindukanku hanya dalam waktu sesingkat ini?"

Liene mengalihkan pembicaraan sambil menarik lengan Black. Jantungnya berdebar kencang seolah telinganya akan tuli.

Jangan-jangan dia sudah mendengar semuanya...

 Tidak mungkin. Dia tidak boleh dengar.

Kumohon.

[Black] "Manau sudah sadar."

Black akhirnya membuka mulut setelah jeda yang lama.

[Liene] "Ah... Syukurlah. Kau akan menemuinya sekarang? Aku mau ikut."

[Black] "Baiklah."

Namun, Black tidak bergerak dari posisinya yang menghalangi jalan.

[Liene] "...? Bukankah kita akan pergi?"

[Black] "..."

Alih-alih bibir, kening Black menunjukkan gejolak. Keningnya berkerut beberapa kali dalam waktu singkat. Ekspresi seseorang yang ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak bisa.

...Dia sudah mendengarnya.

Apa yang harus kulakukan?

[Liene] "Ayo pergi."

Liene berkata sambil mengaitkan jari ke tangan Black.

[Black] "Kenapa kau tidak memberi tahuku?"

Tidak ada cara untuk membuat Black bergerak secara fisik.

[Liene] "Itu bukan sesuatu yang harus kita bicarakan dan juga masih belum pasti."

[Black] "Sembilan dari sembilan belas raja, berarti setengahnya."

...Dia juga mendengar itu.

Tidak ada cara untuk menghindar.

[Liene] "Ada kemungkinan lima puluh persen tidak terjadi apa-apa padamu. Dan angka itu hanyalah catatan yang tersisa di catatan kerajaan. Catatan itu sama sekali tidak menyebutkan para Raja Gainers mengidap penyakit."

[Black] "Putri. ...Liene."

Setiap kali dia memanggil namanya, Liene merasa seolah-olah seseorang sedang mengelus jantungnya tanpa henti.

[Black] "Apa yang... harus kulakukan?"

[Liene] "Tidak ada. Kenapa kau ingin melakukan sesuatu?"

[Black] "Jika aku—"

[Liene] "Cukup."

Liene menjinjit dan menutup bibir Black dengan bibirnya sendiri.

Aku tahu apa yang ingin kau katakan.

Tetapi itu tidak perlu, kan?

Karena hubungan kita tidak akan berubah karena separuh hal yang belum kita ketahui.

Black tidak menariknya mendekat dan membalas ciumannya seperti biasa. Dia masih kaku di tempatnya berdiri.

Jangan begini.

Kalau kau begini, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Kau melihatku, dan aku melihatmu. Kita hanya akan melihat satu sama lain tanpa bergerak sedikit pun sampai kita membusuk.

Aku tidak mau seperti itu.

[Liene] "Jika kau terus seperti ini, aku akan pergi ke Kuil Agung sendirian."

Dia mengancam sambil melepaskan tangan yang dipegang Black.

[Liene] "Aku penasaran setengah mati apa yang akan dikatakan Kardinal. Kenapa kau lamban sekali dan tidak memahamiku? Jika kau terus begini, perasaanku akan sangat buruk. Aku mungkin akan marah dan ingin tidur sendirian malam ini. Aku mungkin juga ingin makan sendirian besok pagi karena perasaanku semakin buruk. Kau mau itu yang akan terjadi?"

[Black] "..."

[Liene] "Kalau begitu lakukan sesuka hatimu."

Liene dengan cepat membalikkan badan. Ketika mulai menaiki tangga menuju pintu keluar penjara, Black mengejarnya.

Dia segera menarik Liene, yang sudah menaiki satu anak tangga, dan mengurungnya dalam pelukan.

Biasanya, dia tidak akan melakukan hal berbahaya seperti ini. Biasanya, jantung mereka tidak akan berdetak sekasar ini.

[Black] "Apa yang harus kulakukan?"

Black menanyakan pertanyaan yang sama lagi.

[Black] "Katakan apa saja. Aku akan melakukannya."

Liene tahu apa maksud ucapanya. Permohonan agar Liene tetap berada di sisinya, dengan Black menyerahkan semua harga diri dan kehormatannya.

[Liene] "Sederhana."

Liene tidak perlu berpikir lama, karena semuanya benar-benar sederhana.

[Liene] "Kau hanya perlu memikirkan satu hal. Mana yang akan membuatku lebih bahagia: keberadaanmu atau ketiadaanmu."

[Black] "...Yang mana?"

[Liene] "Kau bertanya bukan karena tidak tahu, kan?"

Liene bersandar lebih dekat ke dalam pelukannya. Sama seperti Liene yang tidak bisa kembali ke masa ketika dia tidak tahu sensasi sentuhan Black, Liene juga tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirinya.

[Liene] "Tetaplah di sisiku, berikan yang terbaik untuk membuatku bahagia. Apa pun yang terjadi di masa depan, aku ingin merasa bahwa tidak ada yang lebih baik dari kebahagiaan yang kau berikan."

[Black] "Apa itu saja cukup?"

[Liene] "Aku tidak berpikir akan mudah membahagiakanku. Jika suatu saat masalah sepele seperti gunting kuku muncul lagi, aku akan marah besar padamu, tidak peduli apakah aku salah paham atau tidak. Karena jika aku marah, itu memang salahmu."

Liene berkata begitu, meskipun kemarahan terbesarnya hanya sampai menatap langit-langit.

[Black] "Kalau begitu aku akan melakukannya."

Black juga tidak berpikir semuanya akan mudah. Mereka sedang membicarakan kehidupan seperti apa yang akan mereka jalani, dan bagaimana mereka akan mati.

[Liene] "Jika sudah memutuskan, jangan pernah berubah pikiran. Aku tidak akan pernah memaafkannya."

[Black] "...Aku mengerti."

[Liene] "Kau harus berjanji. Bersumpah."

[Black] "Baiklah."

Keduanya berpelukan erat dan berdiri di sana untuk waktu yang lama. Bahkan saat melangkah pergi, gerakan mereka terasa sangat lambat.

[Liene] "Oh, ngomong-ngomong."

Liene, yang sudah menaiki setengah tangga, menghentikan langkah.

[Black] "Katakan."

[Liene] "Aku ingin kita membawa Sir Weroz."

[Black] "Ke Kuil Agung?"

[Liene] "Ya. Kardinal akan menceritakan kejadian 20 tahun lalu, kan? Aku ingin Sir Weroz mendengarnya langsung."

[Black] "Cerita yang kau inginkan mungkin tidak akan disampaikan."

[Liene] "Tidak masalah. Aku puas jika Sir Weroz mengetahui dengan tepat apa yang terjadi 20 tahun lalu. Jika dia tetap tidak berubah pikiran, aku tidak bisa melakukan apa pun."

Black mengangguk.

[Black] "Lakukan sesuai keinginanmu."

Weroz bergabung dengan rombongan menuju Kuil. Meskipun wajahnya pucat karena mogok makan selama berhari-hari, dia menolak bantuan dan berjalan tegak dengan kakinya sendiri.

[Manau] "Selamat datang. Saya dengar tubuh tua ini kembali diselamatkan."

Meskipun Manau terlihat kurus, pikirannya jernih. Sungguh melegakan. Tampaknya tidak ada efek samping dari racun Kabino.

Fermos mengangkat bahu, mengklaim bahwa itu semua berkat penawar yang ia buat.

[Manau] "Tolong maklumi Kuil ini belum tertata rapi untuk menyambut raja duniawi. Kuil sedang mengalami banyak kekacauan."

Akan aneh jika tidak ada kekacauan. Selama ini, Kuil Agung sudah memperluas pengaruhnya dengan bertindak sebagai juru bicara enam keluarga bangsawan. Kardinal sebelumnya, yang merupakan hamba setia Kleinfelter, meninggal. Manau, yang dikira sudah mati 20 tahun lalu, ternyata masih hidup.

Namun, para Imam Tinggi kebanyakan adalah faksi yang terkait dengan enam keluarga. Para Imam Muda bingung harus berpihak pada siapa.

Di tengah kekacauan, Manau diracuni, dan Kleinfelter kembali dituduh sebagai pelakunya. Lima keluarga yang terpisah dari Kleinfelter menjaga jarak dari Kuil Agung karena takut pada pihak kerajaan.

Berdasarkan Perjanjian Risebury yang baru, Kuil Agung adalah entitas yang sepenuhnya independen, dan lima keluarga tidak dapat mengadakan ritual apa pun di sana. Lima keluarga dapat memberikan persembahan kepada Dewa, tetapi tidak dapat memberikan donasi dalam bentuk apa pun kepada para Imam. Pengelolaan keuangan dan aset kuil diserahkan pada sekretaris kerajaan.

Bagaimanapun, dalam perubahan ini, wajar jika terjadi gejolak. Status Imam atau posisi lainnya di Kuil tidak lagi terkait dengan pencapaian duniawi. Lebih dari separuh Imam meninggalkan Kuil dan kembali pada pekerjaan sekuler. Para Imam yang tersisa masih belum tahu harus berbuat apa.

Tetapi semuanya akan segera berakhir. Sekarang saatnya Kuil kembali menjadi Suara Dewa yang utuh, hanya menyisakan para Imam yang benar-benar ingin mengabdikan hidupnya kepada Dewa.

[Liene] "Kekacauan ini akan berhenti. Setelah Kardinal kembali sadar."

Manau menundukkan kepala sebentar, berterima kasih atas ucapan Liene yang lembut.

[Manau] "Lalu, apa yang Anda harapkan dari tubuh saya ini?"

Manau dengan tenang menatap rombongan yang datang mengunjunginya.

Manusia pasti berubah setelah mengalami kematian dua kali. Manau sekarang memiliki wajah yang pantas untuk seorang Kardinal.

[Liene] "Saya ingin mendengar tentang apa yang terjadi 20 tahun lalu. Rahasia keluarga Kerajaan Gainers dan kunci yang ingin dicuri Kleinfelter."

[Manau] "Ternyata Anda sudah mengetahuinya..."

Manau bergumam seperti sedang menghela napas. Namun, dia merasa ini mungkin juga kehendak Dewa. Sama seperti akhir dari keluarga Kerajaan Gainers dan kekeringan di Nauk, mungkin Dewalah yang ingin mengakhirinya.

[Manau] "Keluarga Kerajaan Gainers tidak mencuri kekuatan Dewa."

Manau mulai berbicara perlahan.


A Barbaric Proposal Chapter 109: Black mengejar Liene, yang mengancam akan pergi ke Kuil Agung sendirian karena ia mendengar Liene menyembunyikan masalah kutukan Gainers (peluang setengah) darinya. Black mengungkapkan kekhawatiran dan kesiapan untuk melakukan apa pun demi Liene. Liene meminta Black untuk hanya memikirkan kebahagiaannya dan berjanji akan tetap di sisinya. Baca light novel & web novel korea terjemahan indonesia

Mereka tidak mencuri kekuatan Dewa. Mungkin Dewa mengizinkannya.

[Manau] "Jika Dewa tidak mengizinkan, itu tidak masuk akal. Maksud saya kemampuan untuk mengendalikan air."

Dasar yang menjadikan Nauk sebagai kerajaan paling makmur di bumi adalah hukum pengelolaan air yang dimiliki keluarga Kerajaan Gainers.

[Manau] "Itu sebabnya keluarga Kerajaan Gainers memiliki kekuatan yang begitu besar."

Namun, kekuatan yang terlalu besar pada akhirnya adalah pedang bermata dua.

[Manau] "Sebagai harga atas kekuatan itu, banyak Raja Gainers yang meninggal di usia muda. Beberapa di antaranya kehilangan akal sehat."

Ekspresi wajah para pendengar berubah.

Liene menggenggam erat tangan Black, dan Black tanpa suara menatap tangan Liene yang menggenggamnya.

Fermos mengerutkan kening dan mendesak dengan tatapan mata, sementara Weroz menatap Liene dengan tatapan kaku.

[Manau] "Yang disebut dengan Kutukan Keluarga Kerajaan Gainers."

Setelah Raja meninggal, selalu ada masalah dalam pengelolaan air. Hukum pengelolaan air, yang merupakan dasar kekuasaan keluarga kerajaan, adalah rahasia yang harus diwariskan hanya dari raja ke raja.

20 tahun lalu, terjadi celah dalam estafet rahasia. Pangeran muda saat itu terlalu lemah, dan Raja, yang perlahan mulai menunjukkan gejala penyakit yang disebut kutukan, ragu untuk menyampaikan rahasia itu kepada sang Pangeran. Tidak ada yang tahu seberapa jauh anak kecil bisa menjaga rahasia. Selain itu, Pangeran menghabiskan waktu terlalu lama di Kuil Agung karena sakit.

Kleinfelter memanfaatkan celah itu. Dia berpikir jika berhasil membujuk Pangeran yang muda dan lemah, ia juga bisa menikmati kekuatan yang hanya bisa dimiliki Dewa.

[Manau] "Saya dengan bodohnya... mengkhawatirkan apa yang akan terjadi setelah Raja yang masih hidup meninggal."

[Manau] “Saya takut kemakmuran yang selama ini dinikmati berkat keluarga Kerajaan Gainers hilang dalam sekejap. Sebenarnya, saya hanya mengkhawatirkan kemakmuran saya sendiri. Saya baru menyadari bahwa semuanya hanya keserakahan saya.

[Manau] “Kekhawatiran menjadi alasan saya membantu Ternan Kleinfelter. Saya membuka jalan bagi Kleinfelter untuk bertemu Pangeran yang sedang memulihkan diri secara diam-diam di Kuil Agung. Pangeran tidak mudah dibujuk, dan Raja mengetahui apa yang telah dilakukan Kleinfelter di Kuil.”

Lalu terjadi pertumpahan darah.

Raja merencanakan pembersihan Kleinfelter. Jika Raja Pembrovin masih waras, nama Kleinfelter pasti sudah lenyap saat itu. Sayangnya, Raja kehilangan akal sehat.

Yang akhirnya berhasil bukanlah pembersihan, melainkan pemberontakan. Kleinfelter yang berhasil memberontak mengambil alih Kuil Agung. Yang dia inginkan adalah Suara Dewa. Dia ingin menyebarkan kabar bahwa Dewa marah dan menurunkan kutukan karena keluarga Kerajaan Gainers mencuri kekuatan Dewa, dan bukti kutukan itu adalah kematian Raja.

Dewa telah mengambil kembali kekuatan yang dicuri. Air di Nauk akan terus mengering. Diperlukan raja baru untuk meredakan kemarahan Dewa. Nama raja baru itu adalah Kleinfelter.

Tetapi semuanya bohong. Manau terlambat menyadari bahwa Kleinfelter tidak melakukan pemberontakan atas dasar mulia demi Nauk.

Ketika Manau menolak bicara, tubuhnya disiksa. Kleinfelter secara sepihak menyimpulkan bahwa ia berubah pikiran karena Raja Pembrovin menyerahkan kunci kepada Manau tepat sebelum Raja meninggal.

Ketika tubuh Manau sudah hancur dan hampir tidak bisa bernapas, sebuah mukjizat terjadi. Ternan Kleinfelter terserang stroke. Tidak lama kemudian, putra sulungnya juga meninggal, dengan jeda waktu yang terlalu mencurigakan untuk disebut kebetulan.

Raja tidak mungkin berasal dari keluarga seperti Kleinfelter. Mereka menuduh kematian keluarga Kerajaan Gainers sebagai kutukan, Raja berikutnya haruslah seseorang yang tidak ada hubungannya dengan kutukan, atau kekacauan yang lebih besar akan melanda Nauk.

Keluarga yang berpartisipasi dalam pemberontakan memilih seseorang yang pantas menjadi raja. Alasan terbesar keluarga Arsak memakai mahkota adalah perebutan kekuasaan antar keluarga. Mereka menempatkan keluarga yang paling kecil pengaruhnya—karena mereka yang paling mudah dikendalikan—sebagai keluarga kerajaan baru.

Mungkin keluarga Arsak hanya dianggap sebagai sarana untuk menyerahkan mahkota kepada raja berikutnya, seorang pewaris Kleinfelter.

[Liene] "Ternyata seperti itu..."

JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page