A Barbaric Proposal Chapter 108
- Crystal Zee

- 13 Okt
- 7 menit membaca
Diperbarui: 7 hari yang lalu
Sungguh Tak Masuk Akal (3)
Alih-alih berusaha menyingkirkan selimut, Black menarik Liene yang terbungkus seperti kepompong ke dalam pelukannya.
[Liene] "Jangan. Biarkan aku sendiri. Kumohon."
[Black] "Sepuluh hari bukanlah waktu yang lama. Jika dihitung, waktu saat dirimu menjadi kekasih pria lain jauh lebih lama."
[Liene] "Astaga... Aku memang tidak bisa membantahnya, tapi situasiku sedikit berbeda."
Liene sebenarnya tidak merasa lega sama sekali. Dia juga pernah berusaha keras untuk menaruh kasih sayang pada Laffit, berpikir jika ia bisa benar-benar menerimanya, mungkin ketakutannya terhadap hubungan yang dipaksakan akan sedikit berkurang.
[Black] "Meski begitu, waktumu jauh lebih lama. Jadi, wajar jika kepalaku terasa panas setiap kali kau menyebut pria lain."
[Liene] "...Ungkapan yang bagus. Kepalaku juga terasa sangat panas."
[Black] "Karena itu, aku tersiksa, tapi aku terselamatkan berkat hiburan darimu."
[Liene] "Hmm... Jadi kau berniat menghiburku dengan cara yang sama sekarang?"
[Black] "Tidak harus sama. Katakan apa yang kau inginkan. Aku akan melakukan apa pun."
[Liene] "..."
Liene menarik selimut ke bawah sedikit.
[Liene] "Apakah aku sedikit merepotkan dan memalukan? Aku terus berputar-putar di tempat yang sama padahal masalahnya sudah berlalu."
[Black] "Apakah kau merasa diriku merepotkan, Putri?"
Liene berpikir serius, lalu menggelengkan kepala.
[Liene] "Tidak. Sebenarnya..."
Kemudian kedua pipinya memerah.
Momen mesra yang dimulai dengan dalih untuk menghibur terasa sempurna.
Saat itu matahari sore menyinari setiap helai rambut halusnya, memperlihatkan semua ekspresi detail wajah Black. Wajahnya yang kacau karena gairah masih jelas dalam ingatan Liene. Jika dia mengeluarkan hal terbaik dari benaknya, pasti wajah Black saat itu yang muncul.
Black menempelkan bibirnya di pipi Liene yang menyembul dari balik selimut dan berbisik.
[Black] "Katakan apa yang harus kulakukan."
[Liene] "Aku... tidak yakin."
Liene akhirnya membalikkan badan dan memeluk Black. Tangan Black yang meremas bahunya erat terasa menyedihkan tapi begitu indah.
[Liene] "Apa yang kau pikirkan saat kalian berpisah, kemudian bertemu kembali?"
Ia bertanya saat Black bertemu kembali dengan Putri Blini di Alito.
[Black] "Awalnya aku senang."
[Liene] "...Apa katamu?"
[Black] "Kukira aku bisa mendapatkan cincin itu kembali."
Liene melepaskan pelukannya sedikit dan menatap Black dengan wajah curiga.
[Liene] "Hanya itu saja?"
[Black] "Sungguh. Meskipun aku segera tahu bahwa mendapatkan cicin hanyalah harapan sia-sia."
Sudah jelas Blini berniat mengendalikan Black dengan cincin sebagai umpan. Ketika Blini menyuruhnya melamar jika ingin cincin kembali, Black memilih untuk membuang cincin itu. Toh, dia tidak berniat menjadi Raja Nauk.
Di satu sisi, Black merasa lega. Rasanya seperti memotong identitas yang selama ini melekat padanya seperti ekor tak terlihat.
[Liene] "Mengapa Putri Blini bertindak sejauh itu? Bukankah, sikapmu tidak terlalu baik padanya?"
[Black] "Aku juga harus menanyakan hal itu padamu. Tadi siang, kau menunjukkan rasa iba kepada pria lain yang menculikmu."
[Liene] "Rasa ibaku tidak ada sangkut pautnya dengan urusan cinta yang ditolak... Tidak, kau benar. Kleinfelter juga tidak mendengarkan apa yang kukatakan. Dia menafsirkannya dengan seenaknya, seolah-olah aku memberinya harapan."
Setelah memikirkannya, suasana hati Liene sedikit membaik. Ia kembali memeluk Black dan menepuk punggungnya. Black, dengan cepat tanggap, mengikuti gerakannya.
[Liene] "Perasaan seperti ini akan membaik seiring waktu. Aku akan baik-baik saja."
Black hanya tersenyum alih-alih menjawab.
Liene mungkin baik-baik saja, tapi tidak dengannya. Jika suatu saat Liene berbicara dengan nada mengasihani Laffit lagi, Black akan menuntut penghiburan yang sama.
[Liene] "Meskipun begitu... bisakah kau mengembalikannya? Jika memang sudah berlalu, benda itu tidak ada artinya. Kau tidak perlu menyimpannya terus-menerus."
[Black] "Aku akan melakukannya. Tapi dikembalikan kepada siapa?"
Black menyingkirkan poni Liene dari dahi dan bertanya.
[Liene] "Kepada Putri Blini. ...Atau jangan-jangan ada orang lain lagi?"
[Black] "Tidak ada orang lain. Tapi benda apa yang kau maksud?"
[Liene] "Gunting kuku."
[Black] "Gunting kuku?"
[Liene] "Kau menyembunyikannya."
[Black] "...Ah, kau melihatnya, ya."
Black baru menyadari bahwa kamar tidurnya sudah berubah. Lemari baru telah tiba, dan Liene tampaknya telah memindahkan barang-barangnya ke sana.
Liene mengusap dahinya ke bahu Black, merajuk seperti anak kecil.
[Liene] "Gunting kuku itu... bisa disingkirkan, kan?"
[Black] "...Jika aku tahu kau akan jadi orang seperti ini, aku tidak akan menyembunyikannya."
Black menghela napas pendek.
[Liene] "Aku minta maaf. Aku orang yang seperti ini. Aku juga tidak tahu hatiku sesempit ini."
[Black] "Aku tidak bilang aku tidak suka..."
Black tiba-tiba menghentikan perkataannya dan menjauhkan Liene dari tubuhnya.
[Black] "Berikan tanganmu."
[Liene] "Tanganku?"
Liene melepaskan pelukannya dan mengulurkan tangan dengan bingung. Black memegang tangannya dan menekan bawah kuku ibu jarinya hingga kulitnya terpisah.
Liene tersentak.
[Black] "Sakit?"
[Liene] "Tidak terlalu. Tapi kenapa kau melakukannya?"
[Black] "Kau pernah melukai bagian ini, karena terpotong gunting kuku."
[Liene] "Ah...? Kapan?"
Liene, yang tidak peduli dengan luka kecil, tidak mengingatnya. Sama seperti Black yang tidak peduli dengan lukanya sendiri, tetapi luka pada Liene berbeda. Black mengingat semuanya.
Black memegang ibu jari Liene dan menjilat bagian bawah kuku itu, sama seperti yang pernah ia lakukan di masa lalu.
[Black] "Jadi aku membelinya."
[Liene] "Eh... Hmm? Apa?"
[Black] "Agar kau tidak terluka."
[Liene] "Kau membelinya untuk diberikan kepadaku? Tapi... Itu bukan barang baru."
[Black] "Ya. Karena itu aku tidak jadi memberikannya."
Tidak mudah mendapatkan barang yang bagus di Nauk. Black memilih yang terbaik dari sedikit pilihan, tetapi ia merasa enggan untuk memberikannya karena ia sendiri tidak terlalu menyukai kualitasnya. Selain itu, hubungan mereka saat itu juga tidak memungkinkan untuk memberikan hadiah dengan mudah.
Black tidak bisa menebak setiap momen yang ada. Setiap kali ia berpikir sudah melangkah maju, Liene seolah menjauh lebih banyak.
Black berharap Liene tidak akan pernah melukai kukunya lagi dengan gunting kuku yang tumpul, tetapi ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara langsung.
[Black] "Aku tidak tahu apakah kau akan senang menerima hadiah yang bukan barang baru."
Black menyingkirkan dan membiarkannya terlantar di tempat yang tak terlihat. Kemudian Liene kembali melukai tangannya dengan gunting jahit. Setelah kejadian itu, gunting kuku benar-benar menjadi barang yang tidak bisa Black berikan.
Karena dengan gunting sekecil itu pun, Liene masih bisa melukai dirinya sendiri.
Liene mendesah berat setelah mendengar penjelasannya.
[Liene] "Jadi aku benar-benar memalukan."
[Black] "Aku tidak bermaksud mengatakan itu."
[Liene] "Kau selalu memikirkan diriku, tapi yang kulakukan justru curiga padamu."
[Black] "Itu tidak benar."
[Liene] "Bagaimana kau bisa bilang tidak benar."
Liene menekuk lututnya dan memalingkan wajah.
[Black] "Lihat aku. Kau tidak percaya padaku?"
[Liene] "Bukan. Hanya saja... Aku malu menatapmu sekarang."
[Black] "Kalau begitu, jangan palingkan wajahmu, tutup saja matamu."
[Liene] "Ah, ada cara seperti itu, ya."
Liene menutup matanya dengan polos. Black menghapus senyum dari wajahnya dan mendekatkan bibirnya.
[Black] "Jangan buka matamu."
[Liene] "Mmm... Aku menutupnya karena aku malu... Astaga."
Liene tersentak ketika bibir Black menyentuh pergelangan kakinya sambil menyibakkan ujung piyama.

[Black] "Karena menutup mata, kau tidak akan merasa malu."
Black, yang menggelitik pergelangan kakinya, bergerak semakin dekat.
Liene tersipu malu dan menarik napas terengah-engah.
[Liene] "Ini aneh... Aku merasa lebih malu saat menutup mata."
[Black] "Kalau begitu kau boleh membukanya."
[Liene] "Itu sama saja..."
Membuka atau menutup mata tidak ada bedanya bagi Black. Bahkan jika Liene merengek karena kesalahpahaman, marah, atau mengalihkan pandangan karena hal tak berguna, apa yang akan Black lakukan tetap sama.
Dia akan menghujani Liene dengan kasih sayang di sisinya.
Liene menggeliat-geliat tak berdaya karena napas Black yang menggelitik di dekat pahanya.
[Liene] "Kalau begitu, gunting kuku itu... milikku?"
Liene bertanya sambil mengacak-acak rambut Black dengan kedua tangannya. Black melepaskan bibirnya sejenak dan menjawab.
[Black] "Tidak. Aku tidak berniat memberikannya sekarang."
[Liene] "Kenapa?"
[Black] "Karena aku tidak ingin kau menggunakan gunting lagi. Seperti yang sudah kukatakan."
[Liene] " Saat itu aku sedikit..."
[Black] "Pemandangan saat kau merobek jubah pernikahan dengan gunting masih muncul dalam mimpiku sesekali."
[Liene] "Kau pasti sangat terkejut... Aku, astaga..."
[Black] "Ya. Jadi aku harap kau tidak terluka lagi di masa depan. Jika aku terbangun dari mimpi buruk, aku akan membangunkanmu untuk menghiburku."
[Liene] "Kalau begitu... bangunkan aku."
Liene menarik napas terengah-engah dengan wajah merah padam. Black membaringkan Liene sambil sedikit demi sedikit menyibakkan piyamanya.
[Black] "Kau sudah berjanji."
[Liene] "Ya..."
Sentuhan piyama yang meluncur di kulit terasa lebih menggoda dari biasanya. Liene menelan ludah kering sambil melihat Black melepaskan piyamanya juga.
Pada akhirnya, gunting kuku itu menjadi milik Nyonya Flambard.
Setiap kali Nyonya Flambard merapikan kuku Liene dengan gunting kuku bertatahkan permata, dia mengatakan hal yang sama dengan Black:
Jangan pernah berpikir untuk menyentuh gunting.
Waktu berlalu dengan cepat. Waktu yang terlihat damai, tetapi sebenarnya tidak.
Masih ada dua narapidana di penjara bawah tanah Nauk. Ternan Kleinfelter dan Weroz.
[Tiwakan] "Anda sudah datang."
Liene, yang mengunjungi penjara bawah tanah hari itu, mengangguk pada prajurit Tiwakan yang menyambutnya.
[Liene] "Bagaimana hari ini?"
[Tiwakan] "Dia masih sama saja."
[Liene] "..."
Sama saja berarti Weroz masih menolak untuk makan. Dia memilih untuk mempertaruhkan nyawanya sebagai upaya terakhir.
[Liene] "Buka pintunya."
[Tiwakan] "Baik."
KREEEK!
Pintu sel terbuka, mengalirkan bau lembap dan busuk yang menyelimuti tempat itu. Bau yang selalu Liene cium, tetapi tetap menyengat hidungnya. Liene berdoa dalam hati agar penjara ini kosong dan dia tidak perlu mencium bau yang sama lagi.
[Liene] "Sir Weroz."
Ketika Liene masuk, Weroz, yang bersandar lemas di dinding, memaksakan diri mengangkat kepala. Meskipun ruangan gelap, bibirnya yang kering, menghitam, dan mengelupas terlihat jelas.
Mustahil Liene tidak merasa sedih.
[Weroz] "Anda tidak perlu sering-sering datang. Jika Anda tidak berniat meninggalkan pria itu, jangan mendatangiku."
[Liene] "Aku tidak akan meninggalkannya."
[Weroz] "Kalau begitu saya juga tidak ada yang perlu dikatakan."
Weroz sangat yakin bahwa penyakit turunan keluarga Kerajaan Gainers akan diwarisi oleh Black. Dia berkata Liene harus meninggalkan Black demi melindungi Nauk.
Meskipun Ternan sudah tertangkap, dan hubungan dengan Kerajaan Sharka sudah terputus sehingga tidak ada cara lain yang tersisa, Weroz tetap bersikeras merusak tubuhnya sendiri.
[Liene] "Tidak bisakah kau percaya padaku? Hanya sembilan dari sembilan belas raja yang meninggal muda. Tidak semua keturunan Gainers mengidap penyakit yang sama."
[Weroz] "Apakah Anda bersedia mempertaruhkan masa depan Nauk pada peluang yang hanya lima puluh persen?"
[Liene] "Aku percaya padanya. Dia tidak akan melakukan apa pun yang merugikan diriku."
[Weroz] "Jika dia gila, semuanya tidak akan berguna, Putri."
[Liene] "Kalau begitu, kau lindungi aku. Jika Lord Tiwakan sakit, kau bisa melakukan sesuatu saat itu."
[Weroz] "Setelah Nauk jatuh ke tangan Gainers? Saya tidak bisa."
[Liene] "Itu tidak benar. Lord Tiwakan sama sekali tidak berniat menjadi Raja. Dia bilang akan hidup sebagai suamiku, sebagai Ksatria Pelindung Arsak. Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Mengapa kau masih tidak percaya?"
[Weroz] "Saya juga sudah mengatakannya berkali-kali."
Weroz mengepalkan tinjunya yang kini kurus kering seperti ranting.
[Weroz] "Saya bersumpah untuk melindungi Anda dan Nauk. Apa yang saya lakukan sekarang adalah cara terakhir untuk memenuhinya. Nyawa seorang Ksatria tidak berarti jika demi menjaga sumpah. Biarkan saya sendiri. Sebagai gantinya, ingatlah mengapa saya harus mati. Karena kesetiaan terakhir saya pada Anda, Putri."
[Liene] "...Tidak. Jangan katakan yang terakhir. Aku tidak ingin kehilangan dirimu dengan cara seperti ini."
[Weroz] "Ini mungkin jalan yang sudah ditentukan sejak Anda memilih pria itu alih-alih Nauk."
Dasar pria tua keras kepala.
Liene menekan ujung kakinya kuat-kuat, menahan emosi.
Aku tidak masalah dengan penyakit keturunan Gainers, tapi kenapa dia keras kepala seperti ini?
Seberapa pun cemasnya Sir Weroz, dia tidak akan lebih cemas dariku. Seberapa pun takut dan sedihnya dia, dia tidak akan lebih dariku.
Tapi mengapa kau, yang seharusnya berada di pihakku, mempersulitku seperti ini?
[Liene] "Aku akan membawakan makanan tiga kali sehari sampai kau mau makan. Jika kau tidak ingin terus menyiksaku, makanlah."
[Weroz] "...Kembalilah, Putri. Anda tidak perlu datang lagi."
Aku juga tahu bagaimana caranya keras kepala.
[Liene] "Jangan bicara omong kosong dan makan saja. Pikirkan juga, jika Anda tidak memakan makanan yang kubawa, aku yang harus membersihkan makanan busuk itu."
Liene hendak membalikkan badan dan keluar dari sel ketika dia menyadarinya.
[Liene] "...Eh? Kapan kau sampai di sini?"
Tanpa suara sedikit pun, Black sudah berdiri di sana.
JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar