top of page

A Barbaric Proposal Chapter 107

  • Gambar penulis: Crystal Zee
    Crystal Zee
  • 9 Okt
  • 7 menit membaca

Diperbarui: 7 hari yang lalu

Sungguh Tak Masuk Akal (2)

Ketika kotak dibuka, isinya adalah gunting kuku mungil. Badannya terbuat dari perak berkilauan, dihiasi dengan permata rubi. Namun, gunting kuku itu jelas bukan barang baru. Meskipun telah dibersihkan sebersih apa pun, ada perbedaan antara barang yang pernah dipakai dengan yang belum.

[Ny. Henton] "Karena bukan barang baru, ini jelas bukan hadiah."

Nyonya Henton menutup kembali tutup kotak sambil bergumam pelan.

[Ny. Flambard] "Betul sekali. Mengapa beliau menyimpan benda seperti ini?"

Hanya satu pikiran yang terlintas di benak semua orang:

Mungkinkah ini barang milik seseorang dari masa lalu yang belum bisa dibuang?

[Liene] "Bukan barang peninggalan, kan?"

Liene bersuara sangat pelan, nyaris tak terdengar.

Mustahil benda ini peninggalan ibunya.

Ketika Pangeran Fernand meninggalkan Nauk, satu-satunya benda yang ia bawa adalah cincin yang disebut 'Kunci'.

Tiba-tiba, perkataan yang ia abaikan beberapa hari lalu terlintas di benaknya:

—Ada barang yang bisa ditukar dengan cincin itu.

Dia bilang barang itu pasti ada di suatu tempat jika dia mencarinya.

Kalau begitu, apakah ini milik Putri Blini?

[Liene] "...Hhh." Liene menarik napas kasar.

[Ny. Flambard] "Putri."

Kedua Nyonya menatap Liene dengan cemas. Tapi saat ini, Liene tidak bisa melihat hal lain selain gunting kuku cantik itu.

Aku tahu, aku mengerti.

Tentu saja mereka bisa saling bertukar tanda kasih.

Putri Blini juga masih menyimpan cincin miliknya. Dia bahkan belum menjawab permintaanku untuk mengembalikan cicin itu.

Wajar saja dia menyimpannya. Kenapa harus mempermasalahkan masa lalu?

Aku tahu. Aku mengerti. Aku tahu... tapi aku kesal.

Dia bilang dia tidak suka aku mengasihani orang lain. Tapi kenapa dia menyimpan benda seperti ini?

[Liene] "Berikan padaku. Aku akan menyimpannya kembali."

Liene meletakkan kotak ke dalam laci paling dalam.

[Ny. Flambard] "Apakah tidak apa-apa, Putri?"

[Liene] "Aku akan bertanya padanya. Tapi aku tidak bisa membuang gunting kuku ini seenaknya."

Ucapannya terdengar tegas, namun keningnya berkerut dalam. Kedua Nyonya berpura-pura tidak melihat ekspresi Liene dan memalingkan wajah.

[Liene] "Kita lanjutkan saja beres-beres. Berikan barang-barang yang ada di sana kepadaku. Aku akan menyimpannya di laci ini."

[Ny. Henton] "Baik, Putri..."

Merasa seperti telah mengganggu sarang lebah, kedua Nyonya akhirnya tidak berani bertatapan mata dengan Liene.

Menangkap Laffit Kleinfelter adalah hal mudah. Dia setengah sadar karena kelaparan dan kehausan. Wajahnya, yang selalu dipuji tampan di mana-mana, kini terlihat menyedihkan karena berat badannya turun drastis.

[Fermos] "Saya rasa tempatnya dimulai dari sini."

Setelah menyeret Laffit keluar, Fermos dan Black mengikuti jejak buatan manusia yang tersembunyi di labirin.

[Fermos] "Tempat yang Putri sebutkan juga sepertinya di sini. Terlihat seperti jalan buntu, tetapi jika ada mekanisme, pasti ada sesuatu di balik dinding ini."

Dinding batu yang kokoh itu hanyalah dinding. Tidak ada petunjuk yang jelas, atau pun sesuatu yang tampak mencurigakan.

[Fermos] "Hmm... Kita juga tidak bisa mendorongnya dengan paksa. Kita tidak tahu mekanisme macam apa yang ada di baliknya. Dan di mana letak lubang kuncinya?"

Fermos mengatakan hal yang sama dengan Liene. Jika ada kunci, berarti harus ada lubang kunci untuk membukanya.

Meskipun mereka mendekatkan lentera berkali-kali, tidak ada yang terlihat seperti lubang kunci.

 

[Black] "Pasti ada di suatu tempat."

Black menyipitkan matanya sambil menatap dinding batu.

[Black] "Liene bilang, Nauk dulunya bukan tempat yang sering hujan. Tapi air masih tetap melimpah."

[Fermos] "Ah, Anda bahkan sudah mengetahuinya? Kalau begitu, semua petunjuk mengarah pada fakta bahwa kekuatan dewa adalah air. Lelaki tua dari keluarga Kleinfelter tetap bungkam, tetapi ketika saya menyebut air, dia langsung mengeluarkan busa dari mulutnya."

[Black] "Kita akan tahu lebih banyak ketika Manau sudah pulih."

[Fermos] "Sejujurnya, saya tidak terlalu berharap pada informasi dari Manawu. Jika dia tahu sesuatu, Kleinfelter pasti sudah tahu saat menyiksanya. Untuk saat ini, saya ingin menggambar peta tempat ini. Akan sangat membantu jika kita tahu persis ke mana bagian di balik dinding terhubung."

[Black] "Itu akan merepotkan."

[Fermos] "Saya pernah belajar teknik menggambar, tetapi belum pernah menggunakannya... Akan lebih mudah jika ada seseorang yang memahami geografi wilayah ini."

[Black] "Cari tahu."

[Fermos] "Baik. Ngomong-ngomong, tentang pengiriman utusan kepada Ratu Sharka, ada terlalu banyak variabel. Masalahnya, kita tidak tahu bagaimana Sharka akan memperlakukan utusan dari Nauk. Untuk menguji situasinya, kita juga tidak punya koneksi di dalam istana Sharka. Agen informasi kita cukup berguna, tetapi mereka tidak tahu detail mendalam internal istana."

[Black] "Sepertinya kau tidak ingin mengubah rencana."

[Fermos] "Hmm... Benar. Saat ini, kita tidak punya alternatif lain. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa ada banyak hal yang perlu dipikirkan."

Fermos bukanlah tipe orang yang suka mengeluh tanpa alasan. Ada banyak hal yang perlu dipikirkan berarti dia sudah memikirkannya, tetapi ada suatu masalah.

[Black] "Katakan saja. Jangan bertele-tele."

[Fermos] "...Anda tidak akan marah?"

[Black] "Kau mengatakannya karena tidak ada cara lain, kan?"

[Fermos] "Benar."

[Black] "Sebutkan?"

[Fermos] "Anda sendiri yang pergi, Tuanku."

Ada alasan mengapa Fermos berhati-hati sebelumnya.

[Fermos] "Tentu saja perjalanannya akan memakan waktu lama, dan Anda akan terpisah dari Putri selama itu, tetapi jika Anda yang pergi, Ratu Sharka tidak punya pilihan selain menerima. Bahkan jika Anda datang bukan sebagai Penguasa Nauk, melainkan sebagai Pemimpin Tiwakan."

[Black] "Aku akan sulit untuk tidak marah."

Fermos melompat mundur untuk menjaga jarak.

[Fermos] "Anda bilang saya boleh bicara, Tuanku!"

[Black] "Faktanya aku kesal. Kau menyuruhku pergi ke Sharka? Perjalanan ke sana saja butuh tiga hari."

[Fermos] "Karena Anda berkuda dengan cepat, Anda hanya butuh dua... Saya salah bicara. Saya akan memikirkan cara lain."

[Black] "...Aku tidak tahan."

Fermos tersentak mendengar Black menambahkan kalimat pelan.

[Fermos] "M-marah, Tuanku?"

[Black] "Tidak. Aku tidak tahan berpisah dengannya."

[Fermos] "..."

Fermos memalingkan wajah ke tempat gelap dan mendecakkan lidah tanpa suara.

[Black] "Aku khawatir hal buruk akan terjadi lagi saat aku tidak ada di dekatnya."

[Fermos] "Ah... Yah, itu masuk akal. Tapi bukankah semua pembuat masalah sudah kita tangkap dan kurung?"

[Black] "Itu juga terjadi sebelumnya. Tapi masalah terus bermunculan. Bukan hanya Kleinfelter, tapi hal-hal yang lebih buruk."

[Fermos] "Um... Kita tidak menyangka Kerajaan Sharka atau Alito akan ikut campur... Tentu saja, saya seratus persen memahami perasaan Tuanku."

Setelah mengalami hal yang sama dua kali, wajar jika Black merasa kapok. Karena dia sangat mencintai Liene, kekhawatiran itu sudah sepantasnya.

Fermos bergumam berulang kali dalam hati bahwa perasaan itu wajar, dan Tuannya sama sekali tidak berlebihan.

...Meskipun dia terlihat berlebihan. Tidak, tapi apa dayaku? Jika dia tidak ingin pergi, aku harus mencari cara lain.

[Black] "Untunglah kau mengerti."

[Fermos] "Ba-baik... Tentu."

Keduanya mengamati lebih jauh ke dalam labirin, tetapi akhirnya keluar tanpa menemukan jejak apa pun.

Setelah kembali ke istana dan menyelesaikan makan malam, hari berjalan seperti biasa.

Sungguh mengecewakan karena Liene sudah makan lebih dulu dengan para Nyonya, tetapi lebih baik daripada Liene harus menahan lapar demi menunggu Black.

Juga disayangkan karena Liene menggunakan kamar mandi sendirian lebih dulu, tetapi itu bukan masalah besar.

[Black] "..."

Namun, fakta bahwa Liene berbaring lurus di tempat tidur dan terus menatap langit-langit jelas merupakan tanda ada sesuatu yang salah.


A Barbaric Proposal Chapter 107 : Kotak yang dibuka Nyonya Henton berisi guntung kuku perak bertatahkan rubi yang jelas telah digunakan, membuat Liene kesal karena menduga itu adalah barang kenang-kenangan dari Putri Blini. Liene menyimpannya, bertekad menanyakan Black sendiri. Sementara itu, Black dan Fermos memeriksa labirin gua dan membahas rencana. Fermos menyarankan Black sendiri yang pergi ke Sharka. Baca light novel & web novel korea terjemahan indonesia.

[Black] "Bolehkah aku bertanya apa yang terjadi?"

Black, yang ikut berbaring kaku di samping Liene, akhirnya berbicara setelah cukup lama.

[Liene] "Tidak ada apa-apa."

...Tidak mungkin.

Jika aku percaya dia mengatakan tidak ada apa-apa setelah satu jam berbaring di tempat tidur dan hanya menatap langit-langit tanpa suara, artinya aku sangat bodoh.

[Black] "Aku tahu itu tidak benar. Katakan saja."

[Liene] "Karena kita sudah membicarakan ini, mengulanginya tidak ada artinya. Itu juga bukan hal yang bisa aku ubah."

Pada akhirnya, berarti Black telah mengulangi kesalahan. Tapi apa kesalahannya?

Black dengan serius meninjau kembali waktu yang ia habiskan bersama Liene hari itu.

Apakah karena aku menahan nya di tempat tidur sejak siang?

Dia tahu dia tidak bersikap dewasa. Dia tahu Laffit adalah pria yang tidak berarti bagi Liene, tetapi dia tidak suka melihat simpati Liene terhadap Kleinfelter.

Meskipun hanya remah-remah perhatian, aku lebih suka dia memberikannya padaku, daripada mencurahkan perhatiannya pada pria seperti Kleinfelter.

Itulah mengapa dia menahan Liene. Seperti anak kecil yang diliputi kecemburuan dan tidak tahu harus berbuat apa.

...Aku pikir dia mengerti.

Jika Liene menunjukkan sedikit keengganan, aku tidak akan menahannya di tempat tidur sampai sore hari.

Marah bukanlah sikap Liene yang biasa.

[Black] "Biasanya aku bisa menebak jika melakukan kesalahan, tapi kali ini aku benar-benar tidak tahu."

Black berbicara sekali lagi.

[Black] "Tolong beritahu aku. Anggap saja kau menyelamatkanku malam ini."

[Liene] "..."

Liene terlalu baik. Hanya dengan mendengar nada lemah Black, dia langsung menoleh.

[Liene] "Kau tidak bisa mengatakan apa kesalahanmu?"

Tapi tatapan yang sempat mengarah pada Black langsung menghilang.

[Liene] "Kenapa?"

[Liene] "Aku tidak suka dengan diriku yang tidak bisa menyembunyikan rasa kesal karena hal sepele ini."

[Black] "Aku juga sama. Aku tidak suka bahwa aku yang membuatmu kesal."

[Liene] "Itu bukan salahmu. ...Bukan salahmu, tapi itu penyebabnya. Pokoknya, aku hanya ingin melewati masalah ini. Seiring berjalannya waktu, perasaanku pasti akan membaik."

Apakah ucapannya masuk akal?

Haruskah berbaring berdampingan dan menatap langit-langit lebih lama lagi? Ini penyiksaan tingkat tinggi.

[Black] "Aku tidak mau. Aku tidak tahan dengan situasi ini."

[Liene] "Lalu aku harus bagaimana?"

[Black] "Jangan seperti ini, marah saja langsung di hadapanku."

[Liene] "Aku akan semakin sedih jika melihat wajahmu. Aku sengaja tidak melihat wajahmu agar perasaanku segera membaik."

Liene yang mengatakan tidak ingin melihat diriku sangat mengejutkan.

[Black] "...Liene."

Black langsung bangkit dan memaksakan diri masuk ke sudut pandang Liene.

[Liene] "Ah... Jangan seperti ini."

[Black] "Aku harus melakukan apa?"

[Liene] "Tidak ada. Aku sudah bilang, bukan salahmu."

[Black] "Salahku."

[Liene] "Aku bilang tidak!"

[Black] "Karena kau marah padaku, berarti memang benar salahku."

[Liene] "Haa..."

Liene tidak bisa bertahan lebih lama lagi dan ikut bangkit.

[Liene] "Apa maksudmu? Aku hanya kesal dengan diriku sendiri, bukan karena kau melakukan kesalahan. Tapi kenapa kau bilang itu salahmu hanya karena aku marah? Jika aku berjalan dan tersandung sendirian, lalu aku melampiaskan amarahku padamu yang berada di sisiku, itu juga salahmu?"

[Black] "Pasti salahku. Karena aku ada di dekatmu, tapi tidak bisa menangkapmu."

[Liene] "Wow... Bagaimana kau bisa mengatakannya."

Liene, yang mengatur napas dan menggelengkan kepala, mencengkeram ujung jubah Black.

[Liene] "Kau tidak berniat menunggu perasaanku membaik sendiri, kan?"

Black menundukkan kepala dan mencium punggung tangan Liene yang memegang ujung pakaiannya.

[Black] "Maafkan aku sekali ini saja. Aku tidak tahan dengan situasi ini."

[Liene] "Kau tidak boleh seperti ini."

Liene mengerutkan kening dan menarik tangannya.

[Black] "Aku tidak boleh menciummu?"

[Liene] "Ya. Tidak sekarang. Karena aku sedang marah."

[Black] "Biasanya, berciuman akan membuat kita berbaikan."

[Liene] "Kalau dalam situasi normal. ...Tapi tidak sekarang."

[Black] "Kenapa tidak?"

[Liene] "Aku terus..."

Liene menutup matanya rapat-rapat dan menelan ludah kering. Mulutnya terasa kesat.

[Liene] "Aku terus teringat sesuatu."

[Black] "Apa?"

[Liene] "Sejak aku tahu kau menyimpan gunting kuku itu. Aku terus memikirkannya. Pikiran bahwa kau pasti pernah melakukan hal serupa dengan orang lain."

[Black] "..."

[Liene] "Aku tahu ini konyol. Jadi biarkan aku sendiri. Aku malu mengatakannya."

Setelah selesai bicara, Liene kembali berbaring dan menarik selimut hingga menutupi kepala.

[Black] "..."

Black menatap Liene yang telah berubah menjadi kepompong dalam selimut, lalu tersenyum tipis.

Dia sepertinya sedang cemburu... Benarkah?

[Black] "Putri."

JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page