top of page

A Barbaric Proposal Chapter 106

  • Gambar penulis: Crystal Zee
    Crystal Zee
  • 9 Okt
  • 7 menit membaca

Diperbarui: 7 hari yang lalu

Sungguh Tak Masuk Akal (1)

Sungguh tak masuk akal, tetapi di Sharka, orang-orang mengatakan perselingkuhan biasa terjadi. Raja tidak bahagia dengan kerumitan yang ditimbulkan oleh hubungan tersebut, meskipun dia mungkin menikmatinya secara pribadi. Walaupun tabu dan memalukan, perselingkuhan tidak melanggar hukum atau aturan di Kerajaan Sharka yang memang terkenal amoral.

[Fermos] "Meskipun begitu, karena ada Ratu, hubungan mereka tak bisa diumumkan secara resmi. Putri Blini yang hanya mengandalkan hubungan terlarang rasanya tidak masuk akal. Keluarga Ratu memiliki pasukan pribadi terbesar di Kerajaan Sharka. Raja seharusnya bersikap hati-hati."

Saat itu, Liene angkat bicara dengan tenang.

[Liene] "Ada calon anak."

[Fermos] "Hm, Apa? Keduanya belum memiliki anak... Ah, Putri Blini mungkin saja hamil."

Selama kekuasaan mengalir melalui garis darah putra tertua, seorang anak dapat menjadi perisai sekaligus pedang.

[Liene] "Aku malu harus mengungkit kebohongan yang pernah kukatakan, tetapi jika Putri Blini mengandung, tidak akan sulit untuk mempertahankan posisinya. Setidaknya sampai ia melahirkan."

[Fermos] "Mmm... Kalau begitu, ini akan merepotkan. Jika Putri Blini lolos begitu saja, dan masalah Pangeran Dieren dilimpahkan kepada Grand Duke Alito."

[Liene] "Kurasa ada satu cara."

Liene ragu sejenak sebelum melanjutkan. Pembicaraan tentang Putri Blini entah mengapa membuat hatinya tidak tenang. Betapa pun singkatnya, Black dan Putri Blini pernah menjadi sepasang kekasih.

[Black] "Apakah cara ini membuatmu tak nyaman?" Black membaca ekspresi Liene dan bertanya.

[Liene] "Sedikit. Kau ingat aku pernah bilang tahu satu rahasia Putri Blini?"

[Black] "Aku ingat."

[Liene] "Pangeran Wistard memiliki kaitan dengan Kleinfelter. Karena usia mereka tak terpaut jauh, mereka sudah sering berinteraksi sejak kecil."

[Black] "Rupanya mereka punya hubungan keluarga."

[Liene] "Kleinfelter pernah mengatakannya padaku: dia menjual tubuhnya demi bisa datang ke Nauk. Aku menafsirkannya sebagai dia menjalin hubungan dengan Putri Blini."

[Black] "...Itu mungkin saja terjadi."

[Liene] "Jika Putri Blini memanfaatkan seseorang dengan menggunakan hubungan intim, maka bisa terjadi masalah di istana. Cara ini mungkin sangat rendahan, dan aku ingin menghindari menggunakan informasi itu sebisa mungkin. Aku berharap Putri Blini menyadari kesalahannya lebih dulu."

Black tersenyum pahit dan mengelus kepala Liene.

[Black] "Aku mengerti."

Fermos angkat bicara.

[Fermos] "Yah, jika informasi Anda benar, yang rendah adalah Putri Blini, bukan Anda, Putri. Kalau begitu, bagaimana jika kita menggunakan informasinya dengan cara yang paling terhormat? Kita jadikan Kleinfelter sebagai utusan untuk dikirim kepada Ratu Sharka."

Ia mengusulkannya karena Ratu Sharka kemungkinan besar adalah orang yang paling membenci Putri Blini di istana.

[Liene] "Hmm... Mungkinkah? Kleinfelter bukan orang yang akan menuruti perintah, bahkan jika kita memaksanya."

[Fermos] "Kita harus memaksanya. Ratu Sharka yang akan membuat Putri Blini buka mulut. Tugas kita di Nauk hanya mengirim Kleinfelter pada Ratu Sharka."

[Liene] "... Ah, bukankah kau bilang Kleinfelter belum tertangkap?"

Wajah Fermos tiba-tiba terlihat bersemangat.

[Fermos] "Kami sengaja tidak menangkapnya. Ah, omong-omong, hari ini hari kelima. Setelah membuatnya kelaparan selama ini, dia pasti sudah sadar sekarang. Jika Anda mengizinkan, saya akan pergi menangkapnya."

[Liene] "Astaga..."

Liene menunjukkan wajah yang rumit, dipenuhi berbagai emosi. Sama seperti pembicaraan tentang Putri Blini yang membuatnya tak nyaman, urusan yang berkaitan dengan Laffit selalu membuatnya merasa tidak enak hati.

[Black] "Lakukan saja. Pergilah."

[Fermos] "Baik, Tuanku!"

Fermos melangkah keluar dari kantor dengan langkah ringan, hampir seperti terbang.

TAK!

Setelah melihat pintu tertutup, Black memutar kursi yang diduduki Liene ke hadapannya.

[Black] "Kenapa ekspresimu begitu?"

[Liene] "Hah? Ada apa dengan ekspresiku?"

[Black] "Terlihat seperti kau bersedih."

[Liene] "Aku... Yah, aku merasa sedih. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada Laffit setelah dia pergi. Begitu juga dengan Putri Blini."

[Black] "Putri."

Black melepaskan ikatan kemejanya yang rapi. Ia memegang sandaran tangan dengan kedua tangan dan memiringkan kepala.

[Liene] "Ke...napa?"

Liene menelan ludah karena ketegangan yang tiba-tiba melanda.

[Black] "Aku menyukai semua sisi dirimu, Putri. Bahkan sisi yang mengasihani manusia tak berguna sepertinya."

[Liene] "Begitu, ya. Tapi kenapa..."

...Kau tidak terlihat seperti menyukainya. ...Dan kenapa kau melepaskan kancing kemejamu? Di siang bolong.

[Black] "Aku tidak akan menyuruhmu untuk tidak melakukannya. Karena aku juga tidak ingin kau memaksakan diri demi aku."

Dia bilang tidak akan menyuruh, tapi... dia seperti sedang menyuruhku.

KIIIIK.

Kursi tua berderit karena beban Black yang menekannya.

[Black] "Tapi jika lawannya Kleinfelter, aku merasa sedikit kesulitan."

[Liene] "Aku... mengerti."

Jika kau kesulitan, kenapa kau semakin mendekat?

[Black] "Aku kesulitan, jadi aku ingin kau menghiburku."

[Liene] "Mmm... baiklah. Aku bisa melakukannya."

Aku tidak mengerti kenapa dia melepas kemejanya untuk dihibur.

[Liene] "Bagaimana denganmu?"

[Black] "Aku, kenapa?"

[Liene] "Putri Blini. Tidakkah kau merasa kasihan padanya, meskipun kau tidak tahu apa hukuman yang akan dia hadapi?"

[Black] "Aku rasa dia tidak akan memulai masalah tanpa tahu risikonya."

[Liene] "Meskipun begitu, kau tetap bisa merasa kasihan. Perasaan adalah masalah yang berbeda."

TUK.

Black melepaskan salah satu kancing gaun Liene.

[Black] "Apakah maksudmu kau punya perasaan pada Kleinfelter?"

[Liene] "Tidak. Bukan perasaan seperti itu... Hanya rasa tidak enak sebagai manusia."

[Black] "Perasaan yang kurasakan pada Putri Blini lebih intens daripada rasa kasihan."

TUK.

Kancing kedua terlepas. Black menekan bibir ke leher Liene yang putih yang kini terlihat.

[Liene] "Astaga... berarti kau punya perasaan."

[Black] "Aku masih marah. Karena dia melakukan hal mengerikan padamu."

Suara Black yang berbisik di kulit Liene terdengar seperti mendidih.

Ah... perasaan seperti itu maksudnya.

[Black] "Aku tidak akan pernah puas, apa pun hukuman yang didapatkan Putri Blini."

Aku baik-baik saja... Tidak, tidak. Jika Kleinfelter mencoba meracuni pria ini, aku juga akan merasakan hal yang sama. Bahkan jika dia mati secara menyedihkan, aku akan tetap marah.

[Liene] "Aku mengerti. Tapi kenapa kau butuh hiburan?"

TUK.

Kancing ketiga terlepas. Kali ini, Liene yang melepaskan kancing itu, bukan Black.

Black menahan napas dan menatap ujung jari Liene. Liene, yang hendak melepaskan kancing keempat, menghentikan tangannya setelah melihat tatapan Black.


A Barbaric Proposal Chapter 106 (1): Liene menyarankan untuk menggunakan informasi mengenai Laffit Kleinfelter yang menjual tubuhnya demi kesempatan bertemu Putri Blini. Fermos yang gembira segera pergi untuk memanfaatkan Kleinfelter sebagai utusan kepada Ratu Sharka. Black mengungkapkan ia sangat marah pada Putri Blini karena telah menyakiti Liene, dan ia membutuhkan hiburan dari Liene. Mereka menghabiskan waktu bersama di kamar tidur. Baca light novel & web novel korea terjemahan indonesia.

[Liene] "Tapi, bukankah lebih baik kita pindah tempat? Agar aku bisa menghiburmu sepenuhnya."

[Black] "Aku setuju."

Black bangkit lebih dulu dan menggendong Liene. Ia sering digendong dan dibawa ke kamar tidur, tetapi tidak pernah secepat hari ini.

Liene menarik telinga Black sambil bercanda.

[Liene] "Aku dengar anggota kerajaan tidak boleh berlari di dalam istana."

[Black] "Aku harus segera merevisi etika itu."

BRUK!

Pintu tertutup di belakang mereka setelah memasuki kamar tidur.

Saat itu sudah sore, dan kamar tidur terang benderang di setiap sudut, tetapi hati mereka lebih tergesa-gesa daripada sinar matahari.

Gaun luar Liene tersangkut dan mengacak-acak rambutnya. Liene tertawa keras karena sensasi yang menggelitik pipinya.

-Tidurlah. Aku akan segera kembali.

Liene merasa seperti mendengar ucapan itu dalam tidurnya.

Liene terbangun saat langit mulai memerah, mengucek mata, dan menoleh ke samping yang terasa kosong.

[Liene] "Ah... Dia bilang mau pergi ke mana, ya?"

Liene ingat Black bilang dia akan pergi ke labirin di belakang air terjun. Dia dan Fermos akan memeriksa mekanisme yang dibuat di sana setelah menangkap Laffit.

[Liene] "Keterlaluan. Kenapa dia tidak mengajakku?"

Liene menguap malas dan bergumam. Namun, dia tahu bahwa jika dia bergumam dan tidak bisa membuka mata, Black tidak akan membangunkannya.

[Liene] "Pria itu... Dia menyuruhku istirahat, tapi dia sendiri tidak beristirahat."

Ketika Liene membuka mata dan Black tidak ada di sampingnya, dia merasa ada sesuatu yang hilang.

TOK TOK.

Saat itu, para Nyonya mengetuk pintu kamar tidur.

[Ny. Flambard] "Putri. Apakah Anda sudah bangun? Bolehkah kami masuk?"

[Liene] "Ah, ya. Tunggu sebentar."

Liene mengenakan gaun dalamnya yang acak-acakan dan menyampirkan rambut serta lengan sebisanya. Ia harus menyerahkan simpul di punggung untuk diikat kepada para Nyonya.

[Liene] "Sudah selesai."

[Ny. Henton] "Baik, Putri."

Nyonya Henton kini sudah jauh lebih sehat dan bisa berjalan. Nyonya Henton, yang menjadi Nyonya Istana Nauk, entah mengapa bersemangat, mengatakan ada banyak hal yang harus diurus, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih.

Para Nyonya yang membuka pintu bergegas mendekat. Tanpa perlu disuruh, salah satu mereka membawa sisir dan pita untuk menata rambut Liene, dan yang lain membantu berpakaian.

Liene diam-diam memperhatikan mereka, khawatir ada bekas ciuman di lehernya, tetapi keduanya terlalu bersemangat untuk membicarakan hal tersebut.

[Ny. Flambard] "Putri. Lemari pakaian sudah tiba hari ini. Bagaimana jika kita letakkan di tempat yang kosong di sana?"

[Liene] "Lemari? Lemari apa?"

[Ny. Henton] "Lemari yang sangat besar, setinggi langit-langit. Anda bisa menyimpan selimut dan pakaian sehari-hari di sana. Lemari yang Anda gunakan sebelumnya sudah tua dan kecil, jadi akan dipindahkan ke ruangan lain."

[Liene] "Ah, bagus sekali. Tapi kenapa tiba-tiba ada lemari baru?"

[Ny. Flambard] "Hadiah pernikahan yang disiapkan oleh Duke Tiwakan, tetapi pembuatan lemari butuh waktu."

[Liene] "Wah... Ada hadiah lagi."

[Ny. Henton] "Betul sekali. Saya tidak akan terkejut jika besok beliau mengirimkan hadiah lagi."

[Liene] "Aku juga."

Kedua Nyonya menceritakan dengan mata berbinar tentang betapa megahnya lemari baru dan betapa rumit serta indah ukirannya tanpa merasa lelah.

Setelah Liene selesai berpakaian, lemari baru dibawa masuk. Lemari lama dipindahkan, dan barang-barang yang ada di dalamnya dipindahkan ke lemari baru.

[Ny. Flambard] "Bagaimana jika barang-barang Duke Tiwakan juga  disimpan di lemari ini, Putri? Lagipula Anda berdua menggunakan kamar yang sama."

Lemari yang sebesar dinding memiliki banyak ruang.

[Liene] "Aku juga baru akan mengatakannya. Dia terlihat tidak nyaman karena harus pergi ke ruang ganti setiap kali ingin berganti pakaian."

Aku bertanya-tanya apakah karena lelah bolak-balik, Black membuat lemari sebesar itu. Aku seharusnya memikirkan itu lebih dulu. Aku merasa sedikit bersalah.

Para Nyonya memindahkan barang-barang Black dari kamar sebelah. Ada yang sudah masuk ke lemari, ada juga yang masih berada di dalam peti.

[Ny. Flambard] "Bagaimana jika Anda gunakan sisi ini? Bagaimana menurut Anda?"

[Liene] "Ya, bagus. Pindahkan barang-barangnya ke sisi itu. Aku yang akan menatanya."

[Ny. Henton] "Jangan, katakan saja. Kami yang akan melakukan pekerjaan fisik."

[Liene] "Menata tidak sulit. Nyonya Henton, lebih baik Anda yang belum pulih, tidak banyak bergerak."

[Ny. Henton] "Sir Fermos bilang sedikit bergerak tidak apa-apa."

[Liene] "Jangan percaya semua yang dikatakan Sir Fermos. Semua pasiennya adalah pasukan Tiwakan."

Mereka mengatur barang-barang bersama dengan tawa sesekali.

[Ny. Flambard] "Ini bukan benda yang seharusnya bercampur dengan pakaian... Kita simpan di mana?"

[Liene] "Ah, apa itu?"

Liene berbalik dan melihat apa yang diulurkan Nyonya Flambard. Sebuah kotak kecil. Kotak yang berukuran sedikit lebih kecil dari tangan, dihiasi bingkai emas dan bertatahkan permata, sangat mewah.

[Liene] "Ini agak..." Liene mengakhiri kalimatnya dengan ambigu.

[Ny. Flambard] "Benar, ya..."

[Ny. Henton] "Ya. Di mata saya juga begitu."

Ada alasan mengapa semua orang mengerutkan kening. Kotak itu jelas-jelas milik wanita.

[Ny. Henton] "Mungkinkah ini hadiah untuk Anda, Putri?"

[Ny. Flambard] "Kalau begitu, kenapa disimpan tersembunyi di antara pakaian?"

[Ny. Henton] "Saya juga merasa aneh. Dia sudah sering memberi Anda hadiah, kenapa dia menyembunyikan kotak ini?"

Nyonya Henton menatap kotak itu dengan saksama dan berkata.

[Ny. Henton] "Bagaimana kalau kita buka saja?"

[Liene] "Tapi..."

Liene menggigit bibirnya seolah sedang menelan konflik.

Apa itu? Kenapa dia menyembunyikannya? Tidak. Mungkin itu bukan apa-apa. Mungkin dia lupa dia menyimpannya di sana.

[Liene] "Tidak, biarkan saja..."

Liene ingin mengatakan, "Biar aku yang tanya sendiri," tetapi sudah terlambat. Nyonya Henton sudah membuka kotak itu dengan bunyi KLIK.

Begitu kotak terbuka, terdengar desahan pelan.

[Ny. Flambard] "Mmm..."

[Ny. Henton] "Ini... tidak baik."

JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page