top of page

A Barbaric Proposal Chapter 78

  • Gambar penulis: Crystal Zee
    Crystal Zee
  • 27 Agu
  • 7 menit membaca

Diperbarui: 18 Okt

Mimpi (1)

[Liene] "Apa kita bisa menyelesaikannya?"

Liene bertanya sambil memaksakan kelopak matanya yang lelah untuk tetap terbuka.

[Nyonya Flambard] "Saya tidak tahu..."

Nyonya Flambard, biasanya akan menyuruh Liene untuk melanjutkan sulaman tanpa kompromi, menunjukkan sisi lemahnya.

[Liene] "Ya?"

Reaksi Nyonya Flambard membuat Liene benar-benar sadar.

[Nyonya Flambard] "Saya lupa bahwa Putri sedang terluka. Saya sangat menyesal karena terburu-buru dan membuat Anda kesulitan. Kenapa saya begitu ceroboh... Sekarang sudah tidak bisa dibatalkan."

Nyonya Flambard meneteskan air mata. Liene, dengan wajah basah, mencoba menenangkannya.

[Liene] "Tidak, Nyonya! Kenapa begitu. Masih ada waktu. Kita pasti bisa menyelesaikannya."

[Nyonya Flambard] "Hanya karena sulaman, Putri, yang akan segera menikah, tidak bisa tidur... Saya tidak pantas menjadi pengasuh."

Nyonya Flambard hampir menangis histeris. Liene menggelengkan kepalanya dengan kuat.

[Liene] "Tidak, tidak... Aku juga menginginkannya. Nyonya tidak memaksaku, jadi jangan seperti ini."

[Nyonya Flambard] "Seharusnya saya menghentikan Putri, meskipun Anda yang memintanya!"

Akhirnya, air matanya pecah. Ketika pengasuh yang telah membesarkannya sejak kecil mulai menangis, Liene tidak bisa menahannya lagi.

[Liene] "Jangan menangis... Nanti aku juga ikut menangis."

[Nyonya Flambard] "Apa menurut Anda, saya menangis karena mau... hiks,"

Nyonya Flambard terus menangis sambil memegang jarum. Tekadnya untuk menyelesaikan sulaman sangat mengagumkan.

[Nyonya Flambard] "Apa yang harus kita lakukan... Jika calon suami Putri harus mengenakan jubah pernikahan dengan sulaman yang belum selesai..."

Itu mungkin akan menjadi mimpi buruk terbesar dalam hidup Nyonya Flambard.

[Liene] "Kita berdua akan bekerja keras! Dan Lord Tiwakan tidak akan terlalu mempermasalahkan jika sulamannya kurang sempurna."

[Nyonya Flambard] "Tapi saya tidak bisa membiarkannya!"

Isak tangis Nyonya Flambard semakin kencang. Air mata Liene juga hampir keluar, jadi ia menghentakkan kakinya.

Tok tok. Pintu diketuk saat itu juga.

[Nyonya Flambard] "Hiks, siapa... yang datang?"

Nyonya Flambard mengusap hidungnya dan berdiri.

[Nyonya Flambard] "Saya, hiks, akan pergi melihatnya."

[Liene] "Biar aku saja."

Nyonya Flambard memberi isyarat agar Liene duduk diam, lalu ia pergi ke pintu.

[Nyonya Flambard] "Siapa yang datang selarut ini?"

Klak, Nyonya Flambard membuka pintu dan wajah yang ia lihat sangat tak terduga. Faktanya, sebelum membuka pintu, Nyonya Flambard sempat berpikir mungkin Lord Tiwakan atau Fermos yang datang.

[Nyonya Flambard] "...? Apa kau salah kamar?"

[Nyonya Henton] "Tidak."

Nyonya Henton melirik ke dalam ruangan.

[Nyonya Flambard] "Lalu ada urusan apa?"

Nyonya Flambard memasang ekspresi galak. Baginya, Nyonya Henton-lah yang telah merusak gaun pernikahan, bukan penjahitnya.

[Nyonya Henton] "Aku dengar ceritanya siang tadi."

Nyonya Henton tidak gentar meskipun ditatap tajam.

[Nyonya Flambard] "Cerita apa?"

[Nyonya Henton] "Bahwa penjahit pulang sambil menangis."

Nyonya Flambard langsung meluapkan amarahnya.

[Nyonya Flambard] "Apa yang ia banggakan sampai-sampai berani menangis? Padahal ia membawa coretan seperti itu, lalu menganggapnya sulaman!"

[Nyonya Henton] "Jika ada jarum yang tersisa, berikan satu padaku."

Nyonya Henton sedikit mendorong Nyonya Flambard yang menghalangi pintu, lalu masuk ke dalam. Nyonya Flambard, yang didorong, bergegas mengejar dan memegang roknya.

[Nyonya Flambard] "Tidak, apa yang kau lakukan? Aku tidak tahu apa yang akan kau perbuat!"

[Nyonya Henton] "Sudah jelas sulaman itu tidak akan selesai sampai pagi pernikahan, untuk apa aku merusaknya lagi? Aku bisa menjahit, jadi aku datang untuk membantu."

[Nyonya Flambard] "Lalu kenapa kau baru datang sekarang!"

[Nyonya Henton] "Hati manusia bisa berubah kapan saja, kan? Aku juga bosan terkurung di kamar. Jangan hanya memandang buruk diriku."

[Nyonya Flambard] "Bagaimana mungkin aku tidak memandangmu buruk?"

Liene mendekati kedua wanita yang berdebat.

[Liene] "Hentikan, Nyonya Flambard dan Nyonya Henton."

Entahlah. 

Liene tidak tahu apa niat Nyonya Henton yang sebenarnya. Namun, meskipun ia ingin merusak pernikahannya, Liene tidak berpikir Nyonya Henton menyimpan kebencian yang sama pada Black. Nyonya Henton-lah yang memberitahunya bahwa anak berusia delapan tahun tidak bisa melakukan apa-apa.

[Liene] "Ini adalah pernikahanku, tetapi juga pernikahan Lord Tiwakan."

[Nyonya Henton] "Saya mengerti apa yang Anda katakan. Tapi saya..."

Nyonya Henton menyela, lalu tersenyum pahit.

[Nyonya Henton] "Putra saya ingin tinggal di sini. Ini pertama kalinya dia menginginkan sesuatu, jadi saya juga ingin mewujudkannya. Anda tidak perlu khawatir. Kardinal yang mengatakannya."

[Liene] "Ah... Apa itu benar? Kardinal yang mengatakannya?"

[Nyonya Henton] "Ya."

Senyum pahitnya perlahan memudar.

[Nyonya Henton] "Dan dia bilang kuenya sangat enak."

[Liene] "Ah..."

Aku pasti sangat lelah. 

Liene ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa.

[Liene] "Syukurlah..."

Liene berkata dengan suara serak. Nyonya Henton dengan malu memalingkan wajahnya dan menunjuk bahan sulaman.

[Nyonya Henton] "Saya sudah menjahit sejak lama. Pakaian ini pasti akan selesai."

Kemudian Nyonya Henton langsung mengambil tempat di depan sulaman.

[Nyonya Henton] "Apa saya harus menggunakan jarum ini?"

Nyonya Flambard menatap Liene dengan terkejut.

[Nyonya Flambard] "Putri..."

[Liene] "Percayalah padanya, Nyonya."

Liene tersenyum dengan mata lelah dan bengkak.

[Nyonya Flambard] "Tidak, tapi bagaimana mungkin... Aduh, itu jarumku. Gunakan ini saja."

Nyonya Flambard, yang awalnya tidak percaya, terkejut melihat Nyonya Henton mulai menjahit sendirian. Ia langsung memberikan pekerjaan.

[Nyonya Flambard] "Gunakan benang ini. Jika kau kerjakan dari sini sampai sini, aku bisa sedikit beristirahat."

[Nyonya Henton] "Baiklah."

Meskipun terlihat tidak akur, kedua wanita itu membagi pekerjaan dengan cepat.


A Barbaric Proposal Chapter 78: Liene kelelahan menyulam. Nyonya Henton muncul membantu menyulam, demi masa depan putranya. Pukul 5 pagi, Liene tidur di ranjang. Black yang menunggu semalaman, melepas sepatu Liene. Liene mengigau meminta Black melepas stokingnya. Saat Black melakukannya, Liene terbangun dan menyadari itu bukan mimpi. Black lantas mengusulkan mereka "berlatih" untuk terbiasa. Baca light novel & web novel korea terjemahan indonesia

Nyonya Henton memang pandai menjahit. Ia mulai menyulam dengan cekatan dan cepat. Bahkan tanpa Nyonya Flambard, Nyonya Henton mengukur jahitan dengan hati-hati dan meratakannya.

[Nyonya Flambard] "...Yah, sepertinya kau memang tidak bohong soal menjahit."

[Nyonya Henton] "Setelah 20 tahun menjadi budak tanpa suara di rumah orang lain, menjahit bukan apa-apa."

[Nyonya Flambard] "Rumah orang lain? Di mana... Tidak, tidak perlu dijawab. Aku tidak bermaksud ikut campur."

[Nyonya Henton] "Tidak apa-apa. Tapi itu bukan hal yang baik untuk diingat, jadi lebih baik kita lupakan saja."

[Nyonya Flambard] "Baiklah."

Kecepatan jarum kedua wanita itu mulai meningkat. Melihat dirinya terlalu lambat, Liene juga mempercepat gerakannya.

[Liene] "Jika kau bilang Nyonya Henton ikut membantu, pria itu akan senang."

[Nyonya Henton] "..."

Nyonya Henton menatap Liene sambil terus menjahit.

[Liene] "Pria itu bilang dia ingin memiliki rumah."

Ini terasa seperti rumah. Seperti keluarga. Karena itu, aku juga senang. ...Tidak, mungkin aku yang merasa lebih senang darinya.

[Nyonya Henton] "Kalau begitu, ini hal yang baik."

Nyonya Henton menjawab dengan suara pelan. Setelah itu, tidak ada yang bicara. Mereka hanya sibuk menggerakkan jarum. Namun, ruangan terasa hangat, seolah-olah ada perapian yang menyala.

Liene kembali ke kamar tidur sekitar pukul lima tiga puluh pagi. Meskipun hanya punya waktu satu jam sebelum bangun, Nyonya Flambard mendorongnya untuk tidur. Nyonya Henton mengambil jarum dari tangan Liene. Mereka masih terlihat tidak akur, tetapi cara mereka bekerja sama membuat mereka terlihat seperti teman baik.

Saat Liene membuka pintu kamarnya, ia sangat lelah sehingga kelopak matanya hampir tertutup.

Aku harus mencuci muka... 

Pikirannya begitu, tetapi tubuhnya malah menuju ke ranjang.

Pria itu pasti sudah tidur. Selamat tidur. Semoga aku bisa melihatmu di pagi hari. 

Liene berencana tidur di kamar sebelah agar tidak membangunkan Black. Liene langsung berbaring di ranjang tanpa berganti pakaian. Matanya terpejam. Tangan dan kakinya terasa sangat berat. Ia berpikir untuk melepas sepatu, tetapi ia sudah setengah tertidur.

Seperti dalam mimpi, tangan seseorang menyentuh kakinya. Tuk. Dengan suara kecil, sepatunya terlepas. Tangan itu melepas sepatu dari kedua kakinya, lalu dengan lembut membalikkan tubuhnya. Bantal empuk diletakkan di bawah kepalanya.

Siapa itu... peri rumah? 

Liene tertawa kecil, menganggap pikirannya lucu.

[Suara] "Jangan tertawa."

Sang peri berkata.

[Suara] "Aku sedang menahan diri untuk tidak membangunkanmu."

Liene tersenyum dan berkata,

[Liene] "Karena sudah terlanjur... tolong lepaskan... stokingku juga... merepotkan..."

[Suara] "Sepertinya kau punya kebiasaan mengigau saat tidur."

Sang peri terdengar menggerutu.

[Liene] "Kenapa... kau tidak mau...?"

[Suara] "Bukan tidak mau, tapi justru sebaliknya. Kenapa kau tidak menyadarinya?"

Peri itu mengangkat sedikit rok Liene dan menarik stokingnya. Liene terkekeh.

Kenapa peri rumah tidak tahu cara melepas stoking?

[Liene] "Bukan begitu... lepas... dulu... pita pengikatnya..."

[Suara] "Pita yang mana?"

[Liene] "Yang di... paha..."

Peri itu mengeluarkan suara tidak puas.

[Suara] "Aku tidak yakin bisa menahan diri untuk tidak bersikap tidak senonoh."

Syuuuk. 

Roknya diangkat lebih tinggi, dan kedua tangan masuk ke dalam rok. Tangan itu meraba-raba rok dalam yang tipis dan menemukan simpul yang menahan stoking di paha.

Sruut, tuk.

 Simpulnya terlepas. Stoking meluncur di kulit Liene. Tangan peri itu perlahan menarik stoking yang melorot.

[Liene] "Ah, aneh..."

Liene bergerak.

Ada apa... 

Peri itu berusaha untuk tidak menyentuh kulitnya. Ia hanya menjepit stokingnya dengan ujung jari dan menariknya. Akibatnya, gerakannya menjadi sangat lambat.

Tapi kenapa rasanya sangat aneh? 

Setiap kali stoking bergesekan dengan kulitnya, Liene tanpa sadar menahan napas. Mulutnya terasa kering, dan ia terus menjilat bibirnya.

Dia bahkan tidak menyentuhku, tapi kenapa... 

Melepas stoking adalah hal yang sangat mudah, tetapi sekarang terasa lambat dan sulit.

[Liene] "Jangan begitu, cepatlah... Bukan itu, di sini... pegang pitanya..."

Liene meraba-raba di atas gaunnya untuk mencari letak pita pengikat stokingnya yang berada di pertengahan paha dan lutut. Liene menarik tangan peri itu dan meletakkannya di atas pita.

[Liene] "Di sini... Pegang ini dan tarik ke bawah... ah?"

Tiba-tiba, peri itu melepaskan tangannya.

[Suara] "...Aku tidak bisa melanjutkannya lagi."

Suara peri yang terasa jauh dan kabur tiba-tiba menjadi suara Black yang sangat lelah.

[Liene] "Eh... Hah? Apa?"

Liene membuka matanya.

[Black] "Suruh aku melakukan hal lain saja."

Ternyata bukan peri rumah. Ternyata dia Black.

[Liene] "K-kau... sejak kapan...?"

Liene bertanya dengan suara terkejut. Black menyisir rambut yang menutupi dahinya.

[Black] "Aku tidak tidur. Aku menunggu kalau-kalau kau akan datang."

Liene bermaksud bertanya sejak kapan Black menggantikan peri rumah, tetapi Black mengira Liene bertanya sejak kapan ia bangun.

[Liene] "Tidak, bukan itu... Aku... Ah, jadi sejak awal?"

[Black] "Apa?"

[Liene] "Aku pikir yang tadi itu mimpi..."

[Black] "...Pantas saja."

Black menghela napas lelah.

[Black] "Aku tidak sengaja membuatmu terbangun. Tidurlah."

[Liene] "Tapi aku harus melepas stoking..."

Liene, yang sudah terbangun, berhenti bergerak. Untuk melepas stoking, ia harus mengangkat gaunnya atau memasukkan tangannya ke dalam.

Benar. Perasaan aneh tadi bukan hanya khayalanku.

[Black] "Apa aku harus memejamkan mata?"

Sambil berbicara, Black memejamkan matanya.

[Liene] "Setelah kita menikah, apakah hal seperti ini akan terasa biasa saja?"

Liene bertanya sambil menatap Black yang terpejam.

[Black] "Hal apa?"

[Liene] "Seperti melepaskan pakaian seseorang yang tertidur."

[Black] "...Mungkin."

[Liene] "Semoga itu terjadi secepatnya."

Liene memaksa dirinya bangun untuk melepas stoking.

[Liene] "Sekarang rasanya sangat sulit... Tadi rasanya seperti mimpi yang manis..."

Liene sendiri tidak yakin apa yang ia katakan. Ia merasa aneh dan malu, tetapi pada saat yang sama, ia juga menyesal sensasi itu menghilang di tengah jalan.

[Liene] "Rasanya seperti peri rumah. Aku tidak perlu menggerakkan satu jari pun, dan dia melakukan semuanya untukku."

[Black] "Kalau begitu."

Black membuka matanya dan mendekat.

[Black] "Mulai sekarang, kita harus berlatih. Sampai terbiasa."

JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page