A Barbaric Proposal Chapter 75
- Crystal Zee

- 26 Agu
- 7 menit membaca
Diperbarui: 18 Okt
Malam Sebelumnya (2)
Klak, pintu terbuka. Di balik pintu, terlihat wajah Black yang kaku dan masam.
[Liene] "Lord Tiwakan!"
Melihat Black, Liene langsung memeluknya. Black memeluk Liene yang tiba-tiba berhamburan ke pelukannya.
[Liene] "Kenapa kau sangat terlambat?"
[Black] "Ada masalah yang menyebalkan. Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di sini?"
Black tertawa pelan di telinga Liene yang menempel di bahunya. Sama seperti saat itu. Meskipun biasanya Black terlihat lebih tenang dari siapa pun, ia menjadi sangat jujur saat emosinya meluap.
[Liene] "Aku sangat khawatir, jadi aku ingin pergi menjemputmu."
[Black] "Di kamar tidur Fermos?"
[Liene] "Tidak, bukan begitu..."
Fermos melompat di belakang Liene.
[Fermos] "Ini salah paham! Sangat, sangat, sungguh salah paham yang mengerikan!"
Black, yang melepaskan Liene sejenak, melirik Fermos dengan tajam.
[Black] "Kenapa kau tidak pakai baju?"
[Fermos] "Ya, apa? Tentu saja karena ini sudah waktunya tidur!"
[Black] "Kau seharusnya pakai baju di depan Putri. Apa yang sedang kau lakukan?"
[Fermos] "Tidak, saya akan memakai baju, tapi Putri menghentikan saya!"
[Black] "...?"
Mata Black kembali melirik Liene.
[Black] "Putri?"
[Liene] "Ah, aku kira itu hanya alasan untuk mengusirku. Fermos terus mencoba menghentikanku untuk pergi menjemputmu."
[Black] "...Jadi kau terus melihatnya dalam keadaan tidak pakai baju?"
[Liene] "Aku tidak terlalu peduli."
[Black] "..."
Black menelan apa yang akan ia katakan.
[Liene] "Apakah tidak ada alasan lagi bagiku untuk ada di sini?"
[Black] "Tentu saja tidak. Aku sudah kembali dengan selamat."
[Liene] "Kalau begitu, sebaiknya kita kembali."
Black mengangkat Liene dan berbalik. Tentu saja, ia tidak lupa melirik Fermos sebelum pergi. Ia bahkan mengucapkannya tanpa suara. Sampai jumpa besok.
Fermos membeku, dan Liene terkejut, menepuk-nepuk punggung Black.
[Liene] "Ah, turunkan aku! Aku bisa berjalan."
[Black] "Aku melihat kakimu tidak beralas."
[Liene] "Tidak, ini... Aku lupa pakai sandal."
Seolah-olah Liene begitu khawatir sampai ia lupa segalanya. Liene, yang merasa sangat senang melihat Black kembali dengan selamat, akhirnya merasa malu.
[Liene] "Kenapa aku seperti ini... Aku merasa sedikit aneh hari ini."
[Black] "Aku mengerti."
[Liene] "Benarkah?"
[Black] "Aku juga sering merasa aneh jika berkaitan dengan dirimu."
Secara rasional, Black tahu bahwa tidak ada hubungan apa pun antara Fermos dan Liene. Namun, kamar Liene kosong, dan ketika ia mendengar Liene datang ke kamar Fermos tanpa alas kaki, emosinya meluap. Ia tidak bisa mempercayainya bahkan ketika ia membuka pintu.
Kenapa bajingan itu tidak pakai baju? Apa yang dia coba lakukan?
Black bahkan memikirkan hal itu. Jika saja Liene tidak berlari dan memeluknya saat melihat wajahnya, hasilnya tidak akan baik.
[Liene] "Aku tidak akan melakukannya lagi di masa depan."
Liene sekarang terbiasa digendong menuruni tangga. Saat ia melingkarkan satu lengannya di leher Black dan menyandarkan kepalanya, ia tidak merasa sedikit pun tidak aman.
[Liene] "Nyonya Flambard pasti akan mengomel jika melihatku."
[Black] "Aku juga..."
[Liene] "Apa?"
Black, yang menggerakkan pipinya di sudut yang tidak bisa dilihat Liene, menggelengkan kepalanya.
[Black] "...Aku hanya ingin mengatakan jangan berjalan tanpa alas kaki."
[Liene] "Benar. Aku tidak pernah seperti ini."
[Black] "Jangan hanya pakai piyama juga."
[Liene] "Aku memakai jubah, jadi kau tidak bisa melihat piyama di dalamnya."
[Black] "Karena kau memakai jubah, aku tahu kau hanya memakai piyama di dalamnya."
Mendengarnya, Liene menjadi canggung.
[Liene] "...Kau mengatakan hal yang sama seperti Fermos."
[Black] "Dia juga mengatakan itu?"
Mata Black menjadi galak. Liene tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Black. Namun, ia bisa merasakan nada suaranya sedikit berubah.
Apa yang tidak ia suka? Siapa yang bilang ia akan kembali cepat? Ia tidak tahu betapa khawatirnya aku.
[Liene] "Kau sangat terlambat."
Liene meraih kerah Black.
[Liene] "Aku sungguh, sangat khawatir. Aku takut ada kecelakaan lain."
Black berhenti berjalan di tengah tangga.
[Black] "Jika kau ingin memegang sesuatu, lebih baik tempat lain."
[Liene] "Ya? Apa?"
[Black] "Selain pakaianku."
Liene segera melepaskan tangannya, mengira leher Black sakit.
[Liene] "Maaf. Aku tidak akan melakukannya lagi."
[Black] "Aku tidak bilang jangan."
[Liene] "..."
[Black] "Tempat lain."
Apa yang harus kulakukan...
[Liene] "Di mana?"
[Black] "Di mana pun kau mau."
Ia bilang tidak suka jika aku memegang pakaiannya, jadi di mana aku harus memegang...
[Liene] "Aku tidak peduli kalau nanti merasa kesakitan."
Selain pakaiannya, posisinya sangat canggung, jadi Liene, setengah bercanda, memegang ujung hidung Black.
[Black] "Aku tidak menduga ini."
Black, yang hidungnya tersumbat, mengeluarkan suara yang tidak biasa.
Pria ini sungguh aneh. Suara seperti ini pun terdengar bagus.
[Liene] "Aku tidak bisa meraih tempat lain."
[Black] "Bagaimana dengan telingaku?"
[Liene] "Bukankah akan sakit?"
[Black] "Kurasa lebih baik daripada hidungku."
[Liene] "Begitukah?"
Liene dengan patuh melepaskan hidungnya dan memegang telinganya. Ia berhati-hati agar tidak menariknya terlalu keras secara tidak sengaja. Karena itu, ia lebih terlihat seperti membelai daripada memegangnya.
[Liene] "Telinganya juga tampan..."
Gumamnya yang tidak sengaja keluar menjadi masalah.
[Black] "Apa yang baru saja kau katakan?"
[Liene] "Ya? Tidak, bukan apa-apa."
[Black] "Jangan bohong. Kau tadi bilang sesuatu."
[Liene] "Aku tidak mengatakan apa-apa..."
Black memutar tubuhnya. Punggungnya menyentuh dinding batu di samping tangga.
[Black] "Tahanlah jika dingin."
Meskipun ia berkata begitu, Black meletakkan tangannya di antara punggung Liene dan dinding, agar Liene tidak merasakan dingin.
[Black] "Apa aku terlihat tampan di matamu sekarang?"
Black menundukkan kepalanya hingga bibirnya hampir menyentuh Liene dan berbisik.
[Liene] "...Kau tahu jawabannya."
[Black] "Aku tidak bisa mempercayainya."
[Liene] "Kau pasti melihatnya di cermin setiap hari... Ah!"
Bibir Black menyentuh cuping telinga Liene, membuat Liene gemetar dan tanpa sadar menutup matanya.

[Black] "Kau juga sama, Putri. Aku tidak tahu telingamu begitu indah."
[Liene] "Hanya..."
Liene menutup matanya rapat-rapat dan berkata pelan.
[Liene] "Kau tidak perlu mengatakan hal-hal seperti itu, aku hanya berharap kau segera menciumku."
Aku tidak percaya aku mengatakan ini.
Black melepaskan cuping telinganya dan menghela napas.
[Black] "Kau tidak tahu mengapa aku banyak bicara saat bersamamu."
[Liene] "Kurasa kau tidak perlu banyak bicara sekarang..."
[Black] "Apa yang akan aku lakukan jika aku tidak bicara?"
[Liene] "Tentu saja... kau akan menciumku."
Black berbisik saat ia menyatukan bibir mereka.
[Black] "Benar. Tapi kau juga harus tahu ada banyak hal lain yang akan kulakukan, selain menciummu."
Liene bertanya-tanya apa maksudnya, tetapi semua pikirannya menghilang saat ia tenggelam dalam ciuman Black yang manis.
Bagaimana Liene menuruni menara dan masuk ke kamar, prosesnya sedikit kabur. Black, yang dengan paksa menghentikan ciuman panjang, masuk ke kamar mandi . Dan ia kembali sekitar lima menit kemudian tanpa mengeringkan dirinya dengan benar. Air menetes dari rambutnya yang basah, jadi Liene harus menariknya kembali ke kamar mandi.
[Liene] "Ngomong-ngomong, apa masalah menyebalkan yang kau maksud?"
Mengeringkan rambut Black dengan handuk terasa menyenangkan. Atau, lebih tepatnya, momen yang membahagiakan, bukan sekadar hal yang lucu. Saat melakukannya, Liene membelai rambutnya, mencari luka lain. Black adalah orang yang tidak peduli dengan lukanya, jadi ia mungkin tidak tahu jika ada luka kecil.
[Black] "Ah, seorang kesatria dari keluarga Kleinfelter muncul di tengah jalan..."
[Liene] "Apa? Jadi kau bertarung lagi?"
Liene menghentikan tangannya. Black mengangkat dagunya dan menatap Liene dengan mata yang panas. Ia mengulurkan tangannya dan menarik tangan Liene, lalu mencium punggung tangan Liene.
[Black] "Bukan begitu."
Hanya ada satu kesatria, dan ia meminta untuk menemani Lyndon dan Laffit. Sulit untuk memahami alasannya, tetapi Lyndon Kleinfelter memiliki seorang kesatria yang berjanji akan setia kepadanya sampai hari kematiannya.
Mungkin jika itu kesatria biasa, Black akan mengizinkan mereka untuk menemani mereka. Bagaimanapun, kesetiaan pada tuan mereka adalah alasan keberadaan seorang kesatria.
Tetapi dengan Tiwakan, ceritanya berbeda. Bukan karena Tiwakan tidak tahu apa itu kesetiaan, tetapi mereka sudah lelah melihat kesetiaan yang berubah dan dieksploitasi di medan perang.
[Liene] "Jadi kau menolaknya?"
Liene bertanya sambil dengan hati-hati mengusap handuk. Senyum tipis muncul di wajah Black yang terpejam.
[Black] "Tidak. Sebagai gantinya, aku menyuruhnya memakai pakaian kerja, karena ia juga akan diusir."
[Liene] "Oh. Seorang kesatria..."
[Black] "Aku mengambil baju besinya, tapi aku mengizinkannya membawa satu pedang, karena dia adalah seorang kesatria."
[Liene] "Aha."
Liene menggelengkan kepalanya dan tertawa.
[Liene] "Ini seperti kejam tapi penuh belas kasihan?"
[Black] "Ini pertama kalinya aku mendengar kata 'belas kasihan'. Apa yang akan kau lakukan jika berada di posisiku, Putri?"
[Liene] "Kalau aku... Hmm. Aku akan mengizinkan baju besinya. Tapi aku akan meminta untuk menggeledahnya terlebih dahulu. Keluarga Kleinfelter mungkin menyembunyikan sesuatu di dalam baju besinya."
Black, yang sedang duduk di kursi kamar mandi, menegakkan tubuhnya dan mencium dagu Liene.
[Black] "Itu sebabnya aku mengambil baju besinya."
[Liene] "Oh, begitu."
Bukan tanpa alasan Fermos mengatakan mereka mirip. Dibandingkan dengan Black, cara Liene memang lebih lembut, tetapi tidak berarti Liene tidak tahu cara mempertahankan batas. Liene menetapkan area di mana tidak akan berkompromi dan mempertahankannya melalui negosiasi. Mungkin ia belajar bagaimana melindungi keluarga kerajaan dengan cara itu, di tengah persaingan dengan enam keluarga bangsawan. Itulah mengapa Liene adalah orang yang lemah namun kuat.
[Liene] "Apakah dia menyembunyikan sesuatu?"
[Black] "Ya. Beberapa hal. Surat berharga dari Kerajaan Sharkah, dan perhiasan berharga."
[Liene] "Ah, begitu."
Liene sudah mengira hal itu akan terjadi.
[Black] "Itu membuatku berpikir."
[Liene] "Berpikir apa?"
[Black] "Ada seseorang yang mengendalikan keluarga Kleinfelter yang masih tersisa. Seorang kesatria tidak akan mengambil surat berharga seperti itu dengan inisiatif sendiri, tidak peduli seberapa setia dirinya."
[Liene] "Eh...? Kalau dipikir-pikir, benar juga? Apa pelayan yang menyuruhnya?"
[Black] "Apa seorang pelayan punya otoritas sebesar itu? Hanya anggota keluarga yang sah yang seharusnya bisa menyentuh lemari besi."
[Liene] "Benar..."
Wajah Liene menjadi serius, ia mengacak-acak rambut Black yang sudah kering.
[Liene] "Artinya ada seseorang dengan kekuatan sebesar itu yang masih tersisa..."
[Black] "Lebih baik menganggapnya begitu. Dia belum menunjukkan dirinya, tapi segera. Mungkin besok."
[Liene] "Kenapa besok?"
[Black] "Besok, kelima keluarga akan memilih Pemimpian Dewan Agung yang baru. Keluarga Kleinfelter tidak akan membiarkan posisi itu lepas begitu saja."
[Liene] "Aku juga berpikir begitu."
Liene menjadi gelisah.
[Liene] "Sangat sulit karena aku tidak bisa menghadiri Pertemuan Dewan Agung. Arland juga tidak akan bisa pergi besok. Pemilihan Kardinal tidak diputuskan oleh keluarga kerajaan, tetapi oleh Pertemuan Dewan Agung."
[Black] "Apa kau ingin menghadiri Pertemuan Dewan Agung?"
Black berbalik dan bertanya. Tanpa berkata apa-apa, ia menggendong Liene dan mendudukkannya di pangkuan. Liene juga bersandar padanya dengan santai, tanpa terkejut.
[Liene] "Kurasa begitu."
[Black] "Mulai sekarang, kau akan bisa melakukannya."
[Liene] "Ya?"
[Black] "Mungkin tidak besok. Tapi setelah itu."
Liene terkekeh pelan dan memegang telinga Black.
[Liene] "Apa yang akan kau lakukan?"
[Black] "Kurasa sudah waktunya untuk mengubah Perjanjian Risebury. Aku akan membawa hasilnya besok."
Black menyeringai saat menjawab.
[Liene] "Ah, kau mengerutkan dahi, apa terasa sakit?"
[Black] "Tidak. Rasanya tidak sakit, hanya... menyenangkan."
[Liene] "Wajahmu tidak terlihat seperti itu..."
[Black] "Terkadang, terlalu menyenangkan juga menyiksa."
Black bangkit dari kursi sambil menggendong Liene. Liene juga sudah terbiasa dengan sensasi kakinya yang tidak menyentuh tanah.
[Black] "Bisakah kita tidur sekarang?"
[Liene] "...Ya."
Dan sensasi tubuh Black yang tiba-tiba menjadi panas. Ia meletakkan dahinya di leher Liene dan bergumam pelan.
[Black] "Rasanya aku hidup sepanjang hari hanya untuk menunggu saat ini, sejak aku membuka mata."
[Liene] "Ah..."
Kenapa semua yang Black katakan terasa semakin manis setiap saat? Mereka berdua tidur di ranjang yang sama, saling berhadapan, seperti malam-malam sebelumnya.


Komentar