top of page

Bastian Chapter 39

  • Gambar penulis: Crystal Zee
    Crystal Zee
  • 10 Agu
  • 7 menit membaca

Diperbarui: 19 Agu

~ Di Balik Ribuan Tabir ~

Kopi yang tak tersentuh tergeletak di meja, uapnya naik perlahan hingga gelembungnya hilang dan cairan itu mendingin. Sementara itu, sepotong kue di depannya meleleh, lapisan cokelatnya menjadi berantakan karena panas. Pemandangan kue yang perlahan hancur dan kopi yang tak tersentuh menimbulkan rasa tidak nyaman dalam dirinya, seolah ia melihat dunianya berantakan dalam gerakan lambat.

Bastian mengamati meja, lalu membanting cangkir tehnya dengan bunyi dentuman keras. Akhirnya, Odette mengangkat pandangannya dari jari-jarinya yang gelisah untuk bertemu tatapan tajam Bastian.

"Hentikan omong kosong ini, makanlah," Bastian memerintah dengan isyarat singkat ke arah kopi dan kue yang tak tersentuh.

Mata Odette terbelalak kaget melihat kemunculan suaminya yang tak terduga. "Aku tak menyangka akan bertemu denganmu seperti ini. Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya, mencoba bersikap santai.

Senyumnya memudar, menunjukkan sedikit kegelisahan saat ia segera mengalihkan topik pembicaraan untuk menghindari ketegangan, seiring cahaya matahari sore menyaring melalui dedaunan, memancarkan cahaya hangat di wajahnya.

"Aku ada janji di dekat sini. Aku melihatmu saat lewat," kata Bastian, matanya mempelajari wajah Odette, mencari tanda-tanda ketidaknyamanan.

"Ah... ya. Aku mengerti."

"Dan kau? Aku tidak ingat diberitahu bahwa kau akan datang ke Ratz. Apa ingatanku salah?"

Odette menggelengkan kepalanya sebagai respons. "Tidak. Aku memang tidak melaporkannya."

"Lalu, apa yang membawamu ke sini?"

Pupil mata Bastian menyempit. Odette dengan lihai menyembunyikan emosinya meskipun ia merasa seperti sedang ditegur.

"Seorang desainer interior memintaku memilih beberapa lukisan untuk dinding. Ketika aku tahu kau tidak akan datang akhir pekan ini, aku memajukan jadwalnya sedikit dari yang seharusnya minggu depan," sebuah senyum licik muncul di bibir Odette saat ia menjawab.

"Benarkah begitu?"

Sikap Bastian yang tenang dan terkendali justru membuat Odette semakin gugup. Ia memainkan pegangan cangkirnya, mati-matian mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Bastian.

Bersama Franz, Odette merasa lebih nyaman. Kata-kata Franz memiliki sisi licik yang sering membingungkan lawan bicaranya, tetapi baginya jauh lebih baik daripada ketegangan mencekik yang dibawa Bastian. Dengan Franz, ia hanya perlu tersenyum dan merespons seperlunya, sedangkan dengan suaminya, bahkan tatapan Bastian saja membuatnya merasa tak berdaya dan rentan.

Odette merasa pria ini semakin menantang dan mengganggu setiap kali mereka bersama. Ia kesulitan menelan bahkan seteguk air karena merasa tercekik dan gugup.

"Ya," Odette akhirnya memutuskan untuk merekayasa kebenaran.

Penolakannya untuk menyebut nama saudara tiri suaminya sepertinya semakin membuat Bastian marah, karena pria itu mungkin menganggapnya sebagai tanda bahwa Odette dengan bodohnya berpapasan dengan seseorang dari keluarganya.

"Aku mampir ke galeri seni untuk membeli beberapa lukisan dan punya waktu luang. Sudah lama sekali aku tidak keluar, jadi sayang jika tidak menikmatinya sebelum kembali ke rumah."

Dengan senyum percaya diri, Odette menyembunyikan kegelisahan dan kegugupannya. Meskipun mata biru tajam Bastian seolah menembus jiwanya, ia menahannya dalam diam tanpa mencoba mengelak.

Bastian membasahi bibirnya dengan air es yang mencair setengah dan mengangguk setuju. Dalam ketenangan yang tegang, keheningan terasa memekakkan telinga.

Ia melipat tangan dengan santai dan menatap Odette. Ia meletakkan serbet lembap di atas meja saat matahari tenggelam di cakrawala. Saat cahaya hangat meluas hingga ke bawah meja, Odette terselimut senyum penuh tipu daya, mengingatkan pada cadar pengantin halus yang ia kenakan saat hari titik balik matahari musim panas—sebuah senyum yang manis di mata tetapi pahit di hati.

Jelas sekali, Odette sangat ingin merahasiakan pertemuannya dengan Franz. Bastian teringat pada kepala pelayannya, Lovis, yang khawatir tentang nyonya yang menunggu suaminya dengan sedih. Ia tertawa kecil memikirkan betapa liciknya sang istri.

Saat memandang Odette, perasaan tidak nyaman merayap ke dalam pikirannya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merenungkan cara kerja pikiran Odette yang penuh teka-teki. Di balik tabir kesendirian dan melankolis, Odette seolah menyembunyikan ketamakan—nafsu tak terpuaskan akan sesuatu yang berada di luar pemahamannya. Pikirannya dipenuhi kebingungan, ia mempertanyakan tempatnya di dunia Odette dan sifat hubungan mereka.

Kenapa wanita itu terus bersikap kurang ajar dan meremehkannya? Jawaban-jawaban itu tak kunjung datang, membuatnya merasa sangat bingung.

Meskipun rasa penasaran yang membara bergejolak di dalam dirinya, Bastian menahan lidahnya. Ia tahu bahwa di balik sikap misterius Odette terdapat lapisan-lapisan tersembunyi yang tak terhitung. Setiap tabir yang wanita itu kenakan hanyalah topeng, sebuah fasad yang dirancang untuk melindungi diri sejatinya dari mata-mata yang mengintip. Setiap lapisan yang dikupas, yang lain muncul, seolah ia senang dengan misteri dan intrik dirinya sendiri. Bastian tahu jawaban yang ia cari tidak akan datang dengan mudah, karena Odette menjaga rahasia-rahasianya dengan kemauan keras.

Tatapan Bastian beralih ke arlojinya. "Apakah jadwalmu memungkinkan untuk janji lain?"

Ujung bibir Odette terangkat menjadi senyum tenang. "Tidak. Seperti yang kita sepakati sebelumnya, pertemuan kita dengan Hans dijadwalkan tepat pukul enam di alun-alun Balai Kota," jawabnya, suaranya dipenuhi ketenangan penuh racun.

"Apakah ada hal lain yang perlu kita bahas?"

Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Aku hanya sempat berpikir untuk istirahat sejenak di sini, tapi akhirnya aku merasa lebih tertarik untuk kembali ke Ardene," ia mengungkapkan dengan nada melankolis.

Bastian mengangguk mengerti sebelum menanggapi dengan tawa masam. "Ah, istirahat."

Matanya mengamati pemandangan di depannya, dan akhirnya tertuju pada Odette, yang duduk di seberangnya dengan buku yang tak dibaca. Aroma kopi dan kue yang menggoda menguar di antara mereka, memancing indranya. Namun, perhatiannya tertarik pada taman bermain di belakang Odette—sebuah lukisan yang hidup dengan warna-warni dan bentuk yang ia rancang dengan tangannya sendiri.

"Bukankah mansion yang begitu besar untukmu bersantai dan menikmati sudah cukup?"

Bahkan di tengah cemoohnya yang pedas, nada suara Bastian tetap luar biasa tenang.

"Istriku adalah wanita yang sangat mudah beradaptasi. Kemarin ia hanya pindah dari satu rumah sewa murah ke yang lain, tetapi tampaknya ia sekarang sudah bosan dengan kehidupan mewah karena bersikap seperti ini," kata Bastian dengan nada mengejek.

"Jadi, sekarang kau menuduhku?"

Senyum paksa Odette lenyap saat Bastian mengangguk sebagai respons.

"Jika kau memiliki kecerdasan untuk memahami kata-kataku, mengapa kau terus mengulangi kesalahan yang sama berulang-ulang?"

"Apakah melewatkan satu jalan-jalan merupakan kesalahan yang begitu kejam sehingga kau harus menghinaku seperti ini? Bagaimanapun, kau melanggar janjimu lebih dulu, jadi aku hanya menyesuaikan rencanaku," Odette membentak.

"Apa kau benar-benar percaya kita berada di level yang sama?" Ekspresi Bastian berubah saat ia menghela napas pelan dan mengerutkan dahi, tenggelam dalam pikirannya selama sepersekian detik. "Aku membayarmu dengan harga yang adil, yang membuatku menjadi majikanmu sampai akhir kontrak."

Odette terdiam, tidak yakin bagaimana harus menanggapi.

"Hanya karena kau melakukan tugas sebagai seorang istri tidak memberimu hak-hak sebagai istri," Bastian berbicara dengan tegas, "Jika kau di sini sebagai pelayan, maka bertindaklah sesuai. Ingat ini, dan kau akan menjalani dua tahun yang relatif nyaman. Bagaimana menurutmu?"

Lagi-lagi Odette terdiam, mendorong Bastian untuk menuntut, "Aku menunggu jawaban, Odette. Bicaralah, jawab aku."

Kata-katanya membelah udara seperti pisau tajam, menghantam Odette dengan keganasan dingin dan tanpa emosi.

"Dimengerti," jawab Odette, akhirnya memecah keheningan panjangnya yang keras kepala.

Bastian tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan pembicaraan meskipun emosi kurang ajar terlihat jelas di mata Odette yang merah menyala.

"Izinkan aku mengantarmu ke mobil yang menunggumu," katanya, suaranya tegas dan tak goyah.

Odette memiringkan kepalanya sedikit, ekspresi bingung melintas di wajahnya. "Jika aku mengatakan bahwa aku bisa pergi sendiri, apakah itu respons yang tidak pantas dari seorang pelayan?"

Dengan tatapan mantap tertuju pada Bastian, Odette mengumpulkan keberanian untuk mengajukan pertanyaan berani. Meskipun secercah rasa sakit mengkhianati emosinya, ia menolak membiarkan satu kata pun lolos dari bibirnya.

"Sepertinya kau memiliki kapasitas penilaian yang luar biasa," Bastian mengulurkan tangannya ke arah Odette, senyum sinis bermain di sudut bibirnya.

"Aku menghargai kata-kata baikmu," jawab Odette, nadanya dipenuhi perpaduan kesopanan yang berlebihan dan sedikit keberanian yang provokatif. Ia menerima uluran tangan Bastian, menggenggamnya dengan ketegasan yang seolah menyiratkan bahwa Odette meremehkannya.

Bastian menggenggam tangan Odette yang bersarung tangan, tertutup renda, dan dingin itu dengan erat. Odette gemetar, dan ia bisa merasakannya melalui tangan mereka yang menyatu. Itu adalah perasaan yang menyenangkan dan mengesalkan pada saat yang sama.

Makan malam yang berlarut-larut telah berlangsung hingga malam, melewati waktu berakhirnya yang biasa. Dengan hati berat, Odette bangkit dari meja, meninggalkan sisa makanannya yang setengah termakan. Meskipun tahu bahwa perawatan diri sangat penting di saat-saat seperti ini, ia merasa kewalahan memikirkan prospek mencoba mengangkat semangatnya.

Odette berjalan menyusuri lorong sunyi, langkahnya lebih lambat dan lebih terukur dari biasanya. Dengan setiap langkah, ia merasa seperti pelampung yang terombang-ambing di lautan luas, terisolasi dan sendirian. Namun, bahkan saat ia berjalan-jalan tanpa tujuan di aula sunyi, ia tahu perjalanannya singkat. Di bawah cahaya siang, perasaan tanpa tujuan yang kini membelenggunya akan hilang seperti kepulan asap, tidak lebih dari pemikiran yang cepat dan sia-sia.

"Aku akan melakukannya sendiri, hari ini."

Dengan hati berat, Odette menyuruh para pelayan yang mengikutinya pergi, yang mengawasi setiap gerakannya dengan mata kritis. Lelah dan terkuras, ia menyeret kakinya melewati ambang pintu kamarnya, beban hari menimpanya. Meskipun ia merasakan tatapan tidak setuju para pelayan membakar punggungnya, ia tidak peduli.

Odette sangat lelah hingga ingin langsung merangkak ke tempat tidur, tetapi ia tetap berjalan ke kamar mandi untuk berendam. Ia menyisir rambutnya dengan lembut dan berganti gaun tidur yang baru. Ia merasa jauh lebih baik saat berdiri dengan pita yang terpasang di ujung kepang rambutnya.

Odette berdiri tak bergerak, menatap pintu masuk kamar tidur pasangan dengan ekspresi kosong. Desahan panjang dan pasrah keluar dari bibirnya, sebuah manifestasi fisik dari kesedihan dan keputusasaan luar biasa yang menguasainya.

Meskipun ia dilanda kesengsaraan dan patah hati, ia menolak menyalahkan Bastian sepenuhnya. Ia telah memasuki pernikahan ini dengan kesadaran penuh akan tantangan yang akan datang, dan bertekad untuk menghadapinya. Meskipun kenyataan pahit dari situasi ini jauh lebih menakutkan dari yang ia duga, Odette tahu bahwa ini adalah keputusan terbaik yang bisa ia buat.

Dengan tekad yang kuat, Odette berjuang agar pikirannya tidak menyerah pada keputusasaan luar biasa yang mengancam untuk menelannya. Ia berjalan ke meja, di mana tumpukan surat menanti perhatiannya.

Mengetahui bahwa beranjak ke tempat tidur dalam keadaan sedih hanya akan membuatnya lebih sulit untuk beristirahat, ia memutuskan untuk berpegang pada secercah harapan yang masih tersisa. Ia menyortir berbagai barang di atas meja, menolak untuk membiarkan dirinya terbebani oleh kebenaran yang tak terhindarkan dari situasinya. Bagaimanapun, ia harus berhasil, tidak peduli betapa sulitnya itu.

Odette dengan susah payah membaca pesan, menggulung lengan gaun tidurnya, dan menulis balasan. Ada surat dari ayahnya. Sebuah surat yang penuh amarah dan kata-kata kotor yang ditujukan pada putri yang telah mempermalukan keluarga dengan menikahi pria rendahan.

Ia menjatuhkan surat yang robek itu ke tempat sampah, berpikir bahwa itu berita bagus karena ayahnya telah pulih. Kemudian, datang surat dari Sandrine, di mana ia mencantumkan perabotan, perhiasan, tanaman, dan bunga favoritnya bersama dengan daftar keinginannya untuk taman.

Ia dengan cermat mengingat beberapa item penting, lalu mencatatnya di buku catatan terpercaya. Di antara entri-entri itu, ada nama dan informasi kontak pedagang yang direkomendasikan Franz untuk ornamen terbaik buatan Felia, yang ia catat tepat di bawah yang lain.

Karena tidak ada lagi yang bisa mengisi pikirannya, Odette menyerah pada kenyamanan tempat tidur. Saat ia berbaring di sana, suara ombak laut yang menenangkan masuk melalui jendela terbuka, terbawa oleh angin malam yang sejuk.

Dengan usaha keras, Odette menutup matanya dan mengusir bayangan pria menjijikkan yang mengganggu pikirannya. Meskipun beban masalah membuatnya merasa jauh lebih tua dari usianya, ia menolak untuk membiarkan masalah itu menguasainya.

Perlahan tapi pasti, sentuhan lembut cahaya bulan menidurkannya. Sepanjang malam yang panjang dan sepi, irama ombak yang stabil memberi satu-satunya penghiburan, dan irama itu tetap di sisinya hingga cahaya fajar pertama merayap ke langit.

"Tidak apa-apa. Tidak ada yang salah. Semuanya akan baik-baik saja."

Perasaan tenang menyelimutinya saat ia mengulangi kata-kata yang meyakinkan pada dirinya sendiri, seperti melodi yang menenangkan yang memberinya kedamaian.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page