Bastian Chapter 116
- Crystal Zee

- 4 hari yang lalu
- 4 menit membaca
Uang
Meja makan telah disiapkan di tengah malam yang tampak seperti pesta teh kasual—namun, hanya untuk satu orang. Odette menyaksikan adegan absurd itu sambil bersandar pada pilar. Ketika pelayan memindahkan meja di depan perapian, pelayan wanita membentangkan taplak meja dan menata makanan yang dibawa dengan troli saji.
"Kerja bagus," kata Bastian saat Dora selesai mengatur peralatan makan dan menjauh dari meja.
Setelah mencuci tangan, Bastian dengan santai mengambil tempat duduk di meja, seolah tidak ada yang salah sama sekali. Pria itu masih rapi mengenakan seragamnya, yang kontras dengan pakaian tidur Odette yang berantakan.
"Silakan duduk, Nyonya." Bastian memberi isyarat agar Odette duduk.
Dengan enggan, Odette mendekati kursi di seberang Bastian, tetapi tidak duduk. "Kau tidak perlu melakukan ini. Biarkan saja aku kembali dan beristirahat." Para pelayan mengalir keluar ruangan seperti air dan meninggalkannya dalam keheningan, selain suara retakan lembut dari api. "Ini hampir tengah malam," tunjuk Odette.
"Makan," perintah Bastian, mengambil bagian makanannya sendiri.
"Aku sudah makan malam," kata Odette.
"Benarkah? Para pelayan mengatakan sebaliknya. Apa mereka berbohong?" kata Bastian dengan nada sarkastis.
Odette melihat makanan di meja. Roti yang ditaburi gula pasir di atas mentega tebal, sayuran panggang, dan sup labu. Semuanya makanan favorit Odette, dan ia harus memuji Dora karena telah menyiapkannya, tetapi nafsu makannya saja tidak ada.
"Aku sarankan kau makan sekarang, sebelum aku menghabiskan isi piringku. Kalau tidak, aku akan terpaksa membuka mulutmu dan menyuapkanmu," kata Bastian dengan santai, seolah mengomentari cuaca.
"Kalau begitu lakukan saja. Kau selalu melakukan apa yang kau inginkan. Jadi, apa gunanya melakukan hal lain?" kata Odette, suaranya seperti es. Rasa sakit itu kembali, dan bersama dengan kebencian yang telah menumpuk selama bertahun-tahun. "Kenapa kau ikut campur dalam pernikahan Tira?" seru Odette, air mata mengalir di pipinya. "Kau berjanji akan meninggalkannya sendiri."
"Apa hubungannya belas kasihan yang kutunjukkan pada pasangan Becker yang menyedihkan itu dengan janji yang kubuat?" Bastian memegang segelas air tepat di depan bibirnya.
"Sejak kapan kau punya perhatian pada adikku?"
"Aku hanya membalas budi. Aku bukan tipe orang yang suka berlagak sebagai peminta-minta."
"Bagaimana dengan permintaan agar aku menghadiri pernikahannya? Apakah itu juga tulus?"
"Menurutmu?" Bastian tertawa santai dan bersandar di kursinya. Odette memalingkan muka, air matanya terasa panas.
Odette telah menjadi jauh lebih lemah dari sebelumnya, dan Bastian menyadarinya. Bahkan berdiri di depan api yang menyala, Odette merasa dingin. Selendang yang melilit bahunya yang kurus terasa seperti beban, seolah ia bahkan tidak mampu menanggung berat cahaya bulan. Odette sangat pucat; ia jelas tidak dalam kondisi untuk mengandung seorang anak.
"Jika kau akan begitu teliti dalam perhitunganmu, berikan aku gaji juga."
"Gaji?" Bastian mengangkat alis pada Odette.
"Mengingat kau telah membayarku selama dua tahun terakhir, berikan kompensasi untuk sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak berhubungan dengan pengkhianatanku," kata Odette dengan tenang sambil menggenggam tangannya.
Jika Bastian ikut campur dalam pernikahan Tira, Odette harus merevisi rencananya. Mengubah rencana akan membuat segalanya sangat sulit, dan Odette akan membutuhkan uang. Jika, secara kebetulan skenario terburuk terjadi, uang akan menjadi lebih penting.
"Karena aku akan melakukan lebih banyak pekerjaan daripada sebelumnya, rasanya adil jika aku menerima gaji yang layak," kata Odette, kepercayaan kembali dalam suaranya.
Bastian menunjukkan ekspresi yang sulit dibaca. Apakah ia sedang mempertimbangkan, menghitung, atau hanya merasa geli?
"Jika kuberikan padamu, apa kau pikir kau bisa membuatnya sepadan?"
"Ya, tentu saja."
Odette duduk di meja dan mengambil sendok, tiba-tiba bersemangat untuk menyantap sup. Meskipun perutnya mual dan melilit, Odette lebih memikirkan keinginannya untuk menikmati makanan di meja. Roti harus dicelupkan ke dalam sup, sebelum memasukkannya ke mulut. Odette mampu makan beberapa sayuran panggang dan beberapa sendok sup.
Ketika ia menilai telah makan dengan cukup untuk menghindari penghinaan disuapi secara paksa, Odette mengangkat kepalanya untuk melihat Bastian. Mata Bastian yang cekung mengintimidasi, tetapi di sisi lain, Odette merasakan kepuasan. Odette setidaknya punya satu senjata yang bisa digunakan untuk melawan, kepingan terakhir dari martabatnya.
Odette tidak akan membiarkan segalanya terjadi sesuai keinginan Bastian. Ia akan membuat segalanya sesulit mungkin untuk Bastian, memaksanya mengerahkan lebih banyak upaya daripada yang diniatkan.
Dalam momen tekad Odette yang diperbarui, Bastian bangkit dari meja. Odette menutup mata, tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ciuman sengit dimulai di meja makan dan berakhir ketika mereka sampai di kamar Odette. Bastian mengunci bibirnya dengan Odette dan tidak membuang waktu untuk melepaskan pakaian. Odette tidak melawan sedikit pun, seolah sudah memutuskan untuk memberikan apa yang telah Bastian bayar. Bastian harus menghormati usahanya yang mengagumkan. Odette akan melakukan apa saja demi uang.
Bastian menjadi kasar padanya, meremas pinggulnya dengan keras. Rasanya seperti pria itu mencoba mematahkannya. Odette mencengkeram seprai tempat tidur dan berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan teriakannya. Bastian menjadi liar dan kulit Odette menjadi sangat sensitif. Odette tidak kuat lagi menahannya.
Odette mencoba mengabaikan kenyataan, menyangkal sensasi yang beriak di tubuhnya, tetapi jauh di lubuk hati ia tahu bahwa ada sesuatu yang sangat salah. Odette mulai mendapat firasat akan tragedi yang tak terhindarkan. Ia tidak bisa menerimanya dan melakukan yang terbaik untuk mengabaikannya.
Ia memelototi Bastian. Tatapan Bastian, seperti biasa tenggelam di suatu tempat dalam pikirannya sendiri, nyaris tidak fokus pada udara di dihadapnnya. Bastian tidak menyadari penderitaan dan usaha Odette, dan ia berharap ia bisa pergi sebelum pria itu mengetahui rencananya.
"Ah...!" Odette terkesiap saat Bastian tiba-tiba bergeser, mencengkeram pinggangnya dan memutar Odette untuk duduk di atasnya. Odette secara refleks mencengkeram dada Bastian untuk keseimbangan dan menancapkan kukunya.
"Kau harus melakukan sebagian pekerjaan jika ingin dibayar," kata Bastian berbisik rendah.
Odette tiba-tiba tersipu malu, tidak yakin apa yang harus dilakukan. Mata mereka bertemu sesaat, dan Odette pikir ia melihat kilasan emosi di mata biru Bastian yang dingin.
Sementara Odette mencoba memahami emosi yang ia lihat, Bastian menutup matanya. Ketika membukanya lagi, pria itu sedatar dan sependiam sebelumnya. Hubungan mereka tidak lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan.
Kelelahan, Bastian memeluknya saat Odette lemas dan terengah-engah. Bastian menjilati leher dan pipinya dan membelai punggung Odette. Tubuh Odette kejang sebagai respons terhadap sentuhan Bastian yang mengganggu, sensasi euforia yang aneh membanjiri Odette.
Ketika Bastian mencapai batasnya, ia melepaskan hasrat primitif tanpa berpikir dua kali. Odette berdoa dalam benaknya:
Tolong injak-injak aku lebih dalam lagi, hapus kemalangan yang kubawa agar aku tidak harus melakukannya. Tolong...
Pada saat itu, Bastian menggigit dan mengisap kulit Odette. Odette bisa merasakan campuran rasa sakit dan ekstasi menggelitik kulitnya sebagai kenangan terakhir malam itu.
JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Komentar